Oleh: dr. Monica Agnes Witono | Editor: dr. Nurwestu Rusetiyanti, M.Kes., Sp.D.V.E. (K)
Hari Kusta Internasional jatuh setiap minggu terakhir bulan Januari. Namun masih banyak orang yang memberi stigma buruk dan mendiskriminasi pasien dengan penyakit kusta. Untuk itu artikel ini dibuat untuk menambah pengetahuan kita mengenai kusta serta menghilangkan stigma terhadap pasien dengan kusta.
Kusta adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh sejenis bakteri yang disebut Mycobacterium leprae. Penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi, mukosa saluran pernafasan bagian atas, dan mata[1]. Penyakit kusta dapat disembuhkan, serta pengobatan pada tahap awal dapat mencegah kecacatan permanen. Selain cacat fisik, penderita kusta juga kerap menghadapi stigmatisasi dan diskriminasi di dalam masyarakat sekitar.
Kusta menular melalui droplet dari hidung dan mulut. Kontak erat yang berkepanjangan dan berbulan-bulan dengan penderita kusta yang tidak diobati dengan tepat dapat menyebabkan tertular penyakit ini. Penyakit ini tidak menular melalui kontak biasa atau sesaat dengan penderita kusta seperti berjabat tangan atau berpelukan, berbagi makanan atau duduk bersebelahan. Penderita kusta berhenti menularkan penyakitnya ketika mereka memulai pengobatan[2].
Sejarah kusta sudah ada sejak lebih dari 3000 tahun lalu dan baru diketahui penyebabnya oleh seorang dokter yang berasal dari Norwegia bernama Gerhard Armauer Hansen, yang mengidentifikasi basil Mycobacterium leprae sebagai penyebab penyakit ini pada tahun 1873[3]. Bakteri Mycobacterium leprae merupakan bakteri berbentuk batang bersifat tahan asam dan alkohol serta Gram-positif. Bakteri M.leprae memiliki daya invasi rendah penderita yang memiliki kandungan kuman lebih banyak belum tentu memberikan manifestasi gejala berat, bahkan sebaliknya. Jalur transmisi utama droplet basil kusta melalui kontak dengan inhalasi di mukosa hidung atau yang lebih jarang terjadi melakui kontak di kulit yang mengalami erosi. Setelah infeksi terjadi manifestasi gejala klinis baru muncul dalam waktu 3 bulan hinga 10 tahun [2]. Gejala klinis yang muncul dapat bervariasi bergantung pada sistem pertahanan imunitas selular tubuh penderita. Apabila sistem pertahanan imunitas seluler penderita baik gejalanya akan ke arah tuberculoid dan apabila sistem pertahanan imunitas seluler penderita lemah maka gejala dapat muncul lebih berat mengarah ke lepromatosa.
Gejala Kusta
Gejala kusta pada awalnya tidak tampak jelas. Bahkan, pada beberapa kasus gejala kusta baru bisa terlihat setelah bakteri kusta berkembangbiak dalam tubuh penderita selama 20-30 tahun. Beberapa gejala dan tanda kusta yang dapat dirasakan penderitanya adalah:
- Tanda di kulit: kelainan kulit khas kusta bisa bercak kulit lebih terang atau kemerahan dibanding sekitarnya disertai mati rasa (anestesi), perabaan baal atau kurang sensitive, kulit tidak berkeringat, mengkilap atau kering bersisik, alis mata tidak berambut, perubahan bentuk telinga dan hidung.
- Tanda pada Saraf: pembesaran saraf, gangguan perabaan, kelemahan anggota gerak, kesemutan atau nyeri di anggota gerak.
- Lahir atau tinggal di lingkungan endemik kusta.
- Tanda pada mata: kelemahan gerak kelopak mata, perubahan bentuk kelopak mata, kemerahan pada mata.
Kusta ditentukan oleh jumlah dan jenis luka kulit yang Anda alami. Gejala dan pengobatan spesifik bergantung pada jenis yang Anda derita. Jenis-jenisnya adalah:
- TUBERKULOID
Bentuk yang ringan dan tidak terlalu parah. Penderita tipe ini hanya memiliki satu atau beberapa bercak kulit datar berwarna pucat (kusta paucibacillary). Area kulit yang terkena mungkin terasa mati rasa karena kerusakan saraf di bawahnya. Kusta tuberkuloid kurang menular dibandingkan bentuk lainnya.
- LEPROMATOSA
Bentuk penyakit yang lebih parah. Penyakit ini menyebabkan benjolan dan ruam kulit yang meluas (kusta multibasiler), mati rasa, dan kelemahan otot. Hidung, ginjal, dan organ reproduksi pria juga mungkin terpengaruh. Penyakit ini lebih menular dibandingkan jenis tuberkuloid.
- BORDERLINE
Orang dengan tipe ini memiliki gejala tuberkuloid dan lepromatosa.
Diagnosis Kusta
Menurut WHO kriteria diagnostik kusta ditegakkan dengan temuan berikut:
- Lesi kulit berupa bercak kulit hipopigmentasi atau eritematosa (kemerahan) dengan hilangnya sensasi yang jelas.
- Saraf tepi yang menebal atau membesar disertai hilangnya sensasi dan/atau kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf.
- Apusan kulit atau basil tahan asam (BTA) positif yang diamati pada apusan/biopsi kulit. Ketika ketiga tanda tersebut muncul, akurasi diagnostik mencapai 95%.
Pengobatan Kusta
Regimen Multi Drug Therapy (MDT) untuk kusta telah direkomendasikan oleh WHO untuk pengobatan berdasarkan usia dan pembagian kasus-kasus ini menjadi bentuk paucibacillary (PB) dan multibacillary (MB). Pada kasus PB regimen durasi pengobatan berkisar 6-9 bulan sedangkan pada kasus MB durasi pengobatan selama 12-18 bulan. Kepatuhan dalam mengkonsumsi obat sampai tuntas merupakan faktor penting dalam keberhasilan pengobatan kusta.
Komplikasi Kusta
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi jika kusta terlambat diobati adalah :
- Mati rasa
- Glaukoma
- Kebutaan
- Gagal ginjal
- Kerusakan bentuk wajah.
- Kerusakan permanen pada bagian dalam hidung.
- Kemandulan pada pria.
- Lemah otot
- Kerusakan saraf permanen di luar otak dan saraf tulang belakang, termasuk pada lengan, tungkai kaki, dan telapak kaki.
- Cacat permanen, seperti alis hilang, cacat pada jari kaki, tangan, dan hidung.
- Selain itu diskriminasi yang dialami penderita dapat mengakibatkan tekanan psikologis atau bahkan depresi. Hal tersebut berisiko memunculkan keinginan penderitanya untuk melakukan percobaan bunuh diri.
Pencegahan Kusta
Saat ini vaksinasi BCG merupakan vaksin yang paling efektif untuk mencegah angka kejadian kusta[6]. Efektivitas vaksinasi BCG terhadap kusta menunjukkan bahwa perlindungan vaksinasi BCG untuk meningkatkan imunitas seluler tampaknya lebih baik terhadap bentuk MB dibandingkan dengan bentuk PB[7].
Mitos vs Fakta mengenai Kusta
Mitos | Fakta |
Penyakit kusta sudah tidak ada lagi di dunia kita saat ini. | Penyakit tertua yang diketahui manusia masih ada sampai sekarang. Meskipun sebagian besar negara berpendapatan tinggi hampir sepenuhnya bebas dari penyakit kusta, penyakit ini masih ada di wilayah yang luas di seluruh dunia. Jumlah kasus terbesar ditemukan di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. |
Penyakit kusta merupakan kutukan, akibat dosa, atau hukuman dari Tuhan. | Kusta hanyalah infeksi bakteri yang ditularkan dari lingkungan atau individu. Tidak membeda-bedakan berdasarkan ras, jenis kelamin, golongan, usia, atau agama. Itu tidak ada hubungannya dengan kutukan atau dosa. |
Kusta tidak dapat disembuhkan
|
Kusta dapat disembuhkan dengan pengobatan yang dikenal sebagai terapi multi-obat, atau MDT. Setelah mendapat MDT selama 72 jam, pengobatan mencegah penyebaran penyakit dan penyakit kusta tidak lagi menular. |
Hanya orang miskin saja yang terkena penyakit kusta. | Penyakit kusta menyerang individu dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah. Penyakit ini sering menyebar di daerah kumuh & padat penduduk karena sanitasi buruk, gizi yang buruk, dan ventilasi udara yang juga buruk, namun semuanya bergantung pada kecenderungan seseorang dan kondisi sistem kekebalan tubuhnya. Hal ini dapat mengenai orang kaya dan juga orang miskin. |
Penyakit kusta membuat sebagian tubuh Anda rontok. | Penyakit itu sendiri tidak menyebabkan bagian tubuh rontok; Namun tubuh mengalaminreaksi peradangan parah yang disebabkan oleh luka kusta yang tidak diobati, sehingga dapat menyebabkan amputasi. |
Daftar Pustaka:
[1]Organisasi Kesehatan Dunia. Leprosy. 2023
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/leprosy
[2] Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Kusta .2020.
[3]Eidt LM. Breve história da hanseníase: sua expansão do mundo para as Américas, o Brasil e o Rio Grande do Sul e sua trajetória na saúde pública brasileira. Saúde Soc. 2004;13:76–88.
[4]Pelayanan Kesehatan. Kemenkes RI. Mengenal Kusta. 2022
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/142/mengenal-kusta
[5] Organisasi Kesehatan Dunia. Pedoman diagnosis, pengobatan dan pencegahan penyakit kusta. 2022. https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/274127/9789290226383-eng.pdf?us=1
[6] Duthie M. S., Saunderson P., Reed S. G. The potential for vaccination in leprosy elimination: new tools for targeted interventions. Memorias do Instituto Oswaldo Cruz . 2012;107(suppl 1):190–196. doi: 10.1590/s0074-02762012000900027.
[7] Düppre N. C., Camacho L. A., da Cunha S. S., et al. Effectiveness of BCG vaccination among leprosy contacts: a cohort study. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene . 2008;102(7):631–638. doi: 10.1016/j.trstmh.2008.04.015