[nextpage title=”Selayang Pandang”]
London, 2 Oktober 2017. Bertempat di Queen Elisabeth International , pada 2-4 Oktober 2017, The International Society for Quality in Health Care (ISQua) kembali mengadakan pertemuan internasional tentang mutu pelayanan kesehatan, kali ini merupakan konferensi ke-34. Hadir dalam acara ini Novi Zain Alfajri dan Sugiarsih mewakili RSA UGM dan Hanevi Djasri mewakili PKMK FK UGM, KARS, PERSI, dan ARSADA.
Pertemuan tahun ini mengambil tema “Learning at the System Level to Improve Healthcare Quality and Safety” sebuah tema yang tim penulis nilai sangat aktual dengan kondisi di Indonesia yang membutuhkan berbagai perbaikan sistem kesehatan nasional dan daerah dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di era JKN.
Terbagai menjadi 11 sesi yang secara kontekstual relevan untuk Indonesia, yaitu:
- Sesi tentang pentingnya mendengarkan suara atau pendapat dari para pasien,
- Mengelola database untuk mengahasilkan keputusan dan regulasi yang tepat (misalnya mengelola data klaim INA CBGs atau data pelayanan P-Care ataupun data dari hasil survei akreditasi KARS),
- Sesi tentang bagaimana sebaiknya regulasi yang dapat mempengaruhi perbaikan tata-kelola,
- Sesi untuk mempelajari mengenai berbagai upaya peningkatan mutu dari sesama negara-negara berkembang.
Sesi lainnya terkait dengan pengembangan sistem untuk menjaga keselamatan pasien, proses pendidikan dan pelatihan peningkatan mutu melalui cara berbagi (sharing) antara institusi, serta mungkin yang paling menarik adalah tentang disruptive improvement and adaptive change; serta beberapa sesi spesifik seperti mutu dan keselamatan pada saat krisis, mutu bagi pelayanan kesehatan jiwa dan mutu dalam pelayanan kesehatan masyarakat.
Tim akan menampilkan reportase selama 3 hari konferensi berlangsung. Diharapkan dengan adanya reportase ini dapat memberikan ide-ide baru bagi para penggiat peningkatan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia.
Sumber: http://mutupelayanankesehatan.net/14-agenda/2621-reportase-isqua-london-2017
[/nextpage]
[nextpage title=”Reportase Hari Pertama”]
Reportase ISQua London 2017, Hari Pertama
Oleh:
Hanevi Djasri1, Novi Zein Alfajri2 dan Sugiarsih2
1Mewakili Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM, Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS), Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) dan Asosiasi Rumah Sakit Daerah (ARSADA), 2Mewakili RS Akademik UGM
Konfrensi ISQua dibuka secara resmi oleh Cliff Hughes sebagai presiden ISQua dan Jennifer Dixon sebagai CEO, The Health Foundation serta juga Peter Lachman, CEO ISQua. Hughes menyatakan sangat senang dapat bekerjasama dengan The Health Foundation dalam penyelenggaraan ISQua tahun ini. The Health Fondation sendiri adalah badan amal di Inggris yang melakukan penelitian dan analisis kebijakan tentang pelayanan kesehatan. Badan Ini juga memiliki banyak program perbaikan untuk menerapkan berbagai ide-ide ke praktek sehari-hari dalam sistem kesehatan di Inggris. Badan ini juga banyak memberikan dukungan dalam mengembangkan kepemimpinan serta menyebarluaskan berbagi evidence untuk mendorong perubahan yang lebih luas. Atas dasar ini maka Jennifer juga merasa senang karena dapat berbagi pengalaman The Health Foundation tentang berbagai aspek dalam meningkatkan mutu dalam sistem kesehatan nasional.
Berikut ini adalah beberapa catatan dari pertemuan hari I oleh tim penulis reportase juga dari berbagai catatan kecil para delegasi Indonesia.
How Stories of Safety, Quality and Culture Form the DNA of Care?
Sesi ini adalah sesi pertama pada morning plenary setelah pembukaan acara. Disampaikan oleh Pip Hardy, seseorang yang sangat peduli dengan safety dan quality. Berawal dari beberapa kisah yang dialami dalam hidupnya yang menimpa ayahnya, saudaranya yang pernah dirawat di rumah sakit namun hasilnya tidak memuaskan dan berakhir pada kematian yang tidak diinginkan. Sejak itu Pip Hardy sangat konsen terhadap budaya safety dan mutu pelayananan.
Menurutnya pengalaman pasien sangat penting untuk digali dan tidak cukup didengarkan dan dikoleksi saja, namun harus ada upaya untuk merefleksinya. Meminta pasien bercerita akan lebih bisa menggali pengalamannya selama mendapatkan pelayanan dibandingan diberikan pertanyaan dalam bentuk kuesioner. Ada tiga poin penting untuk merefleksikan pengalaman yang diceritakan pasien:
- Efektif: Apa yang anda pikirkan?
- Afektif: Apa yang anda rasakan?
- Refleksi: Apa yang akan anda lakukan?
Dengan model tersebut semua pengalaman yang disampaikan pasien dapat menjadi dasar pengembangan pelayanan terutama dalam peningkatan budaya mutu pada level pelayanan kesehatan.
Secara teknis disampaikan bagimana merefleksi pengalaman pasien, yaitu:
- Libatkan pasien dalam asuhannya
- Tempatkan pasien adalah yang terpenting dalam pelayanan
- Dengarkan cerita dan pengalaman pasien
- Belajar dari cerita pasien
- Refleksikan cerita pasien
- Diskusikan pengalaman pasien,
- Tingkatkan Interprofesional colabborative practice
- Kembangkan penelitian
- Tingkatkan budaya mutu dan keselamatan pasien
- Rencanakan sebuah perubahan
Kutipan kalimat yang sangat penting dari Pip Hardy: “ Jika kita ingin membentuk budaya keselamatan, budaya kemanusiaan, budaya mutu, kemudian akan menjadi sangat penting untuk mengerti siapa individu yang akan membentuk budaya tersebut”
Catatan tambahan:
- Perbedaan antara hear dengan listen (mendengar dan mendengarkan) adalah perlu skill untuk belajar mendengarkan (dari Viera Wardani)
- Patient Voices sebagai bagian dari PCC, gunakan motto yang saat ini sering dipakai oleh BPJS Kesehatan: “Bila Pasien itu adalah Saya” (dari Nico Lumenta)
- Intinya: Safety, Quality & Culture form the DNA of Care – Pip Hardy (dari Nico Lumenta)
- Konsep menggali pengalaman pasien juga berlaku dalam menggali pengalaman para klinisi untuk perbaikan sistem. Para klinisi sering bilang tidak pernah diperhatikan oleh manajemen…”gak pernah diajak ngobrol 😊” ….tentu tidak semua RS seperti ini (dari Hanevi Djasri)
- If staff have a bad day, patient will get the worst day – Peter lachman, ISQua CEO (dari Widyarsih Oktavia)
- Berbagai contoh bagaimana menggali pengalaman pasien dapat diperoleh di www.patientvoices.org.uk (dari Hanevi Djasri)
Patient Safety, System Safety, And Organizational Resilience
Sesi ini disampaikan oleh Charles Vincent (United Kingdom), Rebecca Lawton (United Kingdom), Christian Von Plessen (Denmark), Jeffrey Braithwaite (Australia).
Diskusi dilaksanakan secara panel dengan narasumber adalah para ahli patient safety dengan bahasan tentang ketahanan dan keberlangsungan patient safety yang menekankan pada pendekatan yang lebih proaktif dan positif. Tujuannya sesi untuk mengeksplorasi implikasi praktis dari gagasan dalam hal kepemimpinan, budaya, intervensi untuk meningkatkan keselamatan dan kebijakan keselamatan. Pada sesi ini para ahli dalam panel (panelist) mengeksplorasi secara rinci dan mendiskusikan teori, metode dan praktik bersama tentang keselamatan pasien dengan memberikan kesempatan untuk pertanyaan dan diskusi dengan peserta yang hadir. Sesi diawali dengan pemaparan materi dari para narasumber, dilanjutkan sesi diskusi dan ditutup dengan penekanan issue oleh para narasumber.
Pemaparan diawali dengan 4 tema yang terus beresonansi dalam patient safety, yaitu :
- Analisis insiden : apa yang dapat kita pelajari?
Perlunya memperhatikan kondisi pekerjaan dan faktor organisasi sebagai determinan kritis dari patient safety. Insiden dapat dimanfaatkan untuk mengkaji ketahanan. - Dari Insiden menuju pekerjaan sehari-hari. Dicontohkan dalam praktik bedah, banyaknya kegagalan dalam proses asuhan, dengan kondisi pekerjaan yang sangat menantang, lingkungan pekerjaan yang konstan, kajian dari insiden akan membantu untuk merumuskan langkah antisipasi, kompensasi, dan penyelamatan pasien dan problemnya. Dalam tema ini ditambahkan bahwa tim dapat menciptakan safety melalui :
- Komunikasi : kuantitas dan kualitas pertukaran informasi antar anggota tim
- Kepemimpinan : adanya arahan, ketegasan, dan dukungan antar anggota tim
- dukungan/kerjasama saling menguntungkan : antar anggota tim saling membantu, memberi dukungan, dan memperbaiki kesalahan
- pemantauan tim/kesadaran terhadap situasi: observasi tim dan kesadaran atas proses yang berlangsung
- koordinasi tim: Manajemen dan pengaturan waktu atas aktivitas dan tugas
- Ketahanan dan ketergantungan yang terlalu besar pada ketahanan. Dalam hal ini dapat terjadi risiko overuse/misuse. Ketahanan terhadap patient safety bukanlah tentang sesuatu yang anda miliki, tetapi sesuatu yang anda lakukan.
- Mengadaptasi strategi ke dalam konteks.
Kerangka kerja strategi dan intervensi keselamatan
Pada sesi ini juga disampaikan tentang manajemen risiko menjadi berisiko bila :
- Menganggap bahwa aturan telah ditaati
- Mengabaikan peringatan/tanda bahaya
- Kehilangan kepedulian staf
Sesi diskusi banyak membahas mengenai tantangan implementasi patient safety terkait upaya merekonsiliasi Work-as-done (WAD) dengan Work-as-imagine (WAI). Salah satu rekomendasi untuk rekonsiliasi adalah mengubah cara monitoring dari “monitoring of people” menjadi “monitoring with people”. Human system memang lebih kompleks dari banking system atau sistem-sistem yang lain sehingga membutuhkan waktu dan sumber daya yang besar.
Di akhir sesi, ditutup dengan penekanan poin penting dari bahasan sesi dengan beberapa rekomendasi untuk mempromosikan patient safety, antara lain :
- Studi/kajian/riset harus diaplikasikan dalam level praktik
- Penting untuk melibatkan frontliner staffs dalam upaya patient safety. Leadership dibutuhkan untuk membantu staf memahami situasi, aturan yang ada, dan membantu mereka mengatasi hambatan-hambatan dalam bekerja
- Penting untuk membangun kelekatan dengan dokter serta pasien dan keluarga
Using Data Analysis to Guide Quality Improvement in Primary Care
Sesi ini disampiakan oleh Sarah Deeny, Isaac Barker, Rebecca Rosen dan Rebecca Fisher dari Inggris. Sesi ini memberi contoh mengenai inovasi penggunaan analisis data dalam perawatan primer di Inggris untuk membantu meningkatkan kualitas.
Seperti juga di Indonesia dan negara-negara lain, perawatan primer di Inggris berada di bawah tekanan, antara lain keadaan dimana para pasien yang menjalani perawatan primer semakin membutuhkan perawatan untuk kondisi kronis sehingga meningkatkan kompleksitas kebutuhan pasien. Disisi lain sistem kesehatan juga berusaha memindahkan pengobatan pasien dari perawatan sekunder ke perawatan primer.
Dengan tekanan tersebut dan keterbatasan sumber daya (dana dan tenaga kerja) maka diperlukan berbagai inovasi dalam peningkatan mutu. Pembicara menyajikan hasil penelitian terbaru tentang bagaimana analisis data dalam praktik umum dapat digunakan untuk memandu metode peningkatan kualitas dengan berbagai cara. Analisa yang dilakukan termasuk mengidentifikasi segmen populasi yang membutuhkan pendekatan alternatif untuk perawatan, evaluasi kegiatan peningkatan kualitas, dan termasuk pencapaian target perbaikan serta hasil pasca intervensi.
Data pelayanan primer di Inggris terutama berasal dari e-health record nasional yang sudah berjalan cukup baik serta juga berasal dari CGC (clinical commissioning group) yang membawahi kelompok-kelompok GP di Inggris. Data lain berasal dari data dimasing-masing GP. Meski memiliki banyak sumber data namun sistem analisa data belum terintegrasi, bahkan meski GP berasal dari CGC yang sama.
Untuk itu saat ini di Inggris sedang memperbaiki sistem analisa data layanan primer untuk meningkatkan mutu dengan memastikan terwujudnya beberapa hal dibawah ini sebagai kunci keberhasilan, yaitu:
- Tatakelola informasi dan kemampuan IT
- Dukungan untuk memanfaatkan data dalam perbaikan
- Memilih dengan hati-hati target perbaikan
- Pengorganisasiannya
- Memastikan semua pedoman, pelatihan dan templete tersedia
Berdasarkan penjelasan para pembicara maka dapat diusulkan bagi Indonesia agar sistem infomasi Puskesmas (Simpus) dan juga P-Care dapat dikembangkan lebih lanjut untuk dapat dimanfaatkan dalam peningkatan mutu.
Enabling Clinician-Led Quality Improvement: Mixed-Methods Finding from the EPOCH Trial
Sesi ini disampaikan oleh Carol Peden dari USA, Tim Stephen dan Graham Marthin dari Inggris. Dalam sesi dijelaskan tentang sebuah penelitian yang bertemakan peningkatan kualitas pelayanan pada perawatan peri operatif pasien beresiko tinggi.
Studi tentang The Enhanced Peri-Operative Care for High-Risk Patient (EPOCH) adalah sebuah penelitian tentang upaya peningkatan kualitas pelayanan yang dilakukan secara global dan melibatkan 27.000 pasien dari 90 rumah sakit di Inggris. Uji coba dilakukan dengan 2 tahapan, yang pertama adalah analisis data dari intervensi yang dilakukan dengan cluster randomised trial, dan dilanjutkan perbaikan sistem pada 90 rumah sakit tersebut. Sesi ini menjawab pertanyaan penelitian besar yang dirumuskan yaitu apakah upaya peningkatan kualitas (Quality Improvement) dapat diterapkan pada jalur perawatan untuk mengurangi kematian pada pasien post operasi abdominal emergency. Sesi ini membahas kedua hasil penelitian yang menggabungkan hasil uji coba kuantitatif utama dengan etnografi dan memproses data evaluasi untuk menggambarkan dan menganalisis bagaimana para dokter memimpin proses quality improvement dan dilakukan secara bertahap di rumah sakit.
Carol Peden menyampaikan bahwa upaya Quality Improvement (QI) yang melibatkan dokter klinisi harus didukung dengan komunikasi yang sangat intens. Berikut adalah faktor penting pada upaya QI :
- Keterlibatan stakeholders
- Bentuk tim QI dengan melibatkan klinisi
- Gunakan pendekatan PDSA
- Penentuan segmen/area yang jelas
- Komunikasi yang sangat intens terhadap provider dengan menggunakan telepon atau email
- Monitor progres program dengan “runchart”
- Lakukan pertemuan pada minggu ke 14-16 untuk evaluasi
- Berikan feedback pada provider
Di Indonesia belum banyak dokter klinisi yang terlibat banyak dan belum adanya budaya Quality Improvement terutama pada proses/jalur perawatan pasien. Hal ini mungkin membutuhkan sebuah sistem yang membuat para klinisi terlibat melakukan upaya peningkatan kualitas pelayanannya dan menjadikannya sebuah budaya di level mikrosistem. Dari hasil penelitian tersebut maka dapat direkomendasikan bahwa keterlibatan dokter dalam upaya Quality Improvement dapat ditingkatan dengan cara meningkatkan komunikasi antara manajemen dan dokter atau provider, membentuk tim Quality improvement, lakukan evaluasi secara periodik. Lima hal penting dalam upaya Quality improvement dari penelitian tersebut adalah Team, data, segmen, Engage, PDSA.
Hospital accreditation policy: The hospitals’ strategic response and perceived cost benefit
Catatan oleh: Viera Wardhani
Sesi ini merupakan sesi pre-conference yang diselenggarakan pada tanggal 1 Oktober. Disampaikan oleh Delegasi Indonesia dari MMRS Universitas Brawijaya, Viera Wardhani sebagai bagian pre-conference dengan judul External Evaluation: Where Does the Solution Lie, the Carrot, the Stick or the Consumer?
Sesi ini menjelaskan bahwa transisi filosofi dan alasan mendasar yaitu menjadikan mekanisme evaluasi eksternal sebuah keharusan karena kita menginginkannya. Ide dasar kebijakan akreditasi sebagai bagian dari evaluasi eksternal adalah untuk memberikan perlindungan bagi kepentingan publik. Berbagai sisi evalusi eksternal telah berkembang seperti pengukuran kinerja organisasi, akreditasi pada institusi pendidikan tenaga kesehatan, regulasi profesi, dan yang paling penting adalah keterlibatan pasien pada semua aspek evaluasi.
Apakah ini berhasil? Kuncinya adalah penyelarasan dan evaluasi berkelanjutan terhadap sistem itu sendiri, kita harus ingat bahwa semuanya akan kembali pada pasien.
Apa yang masih perlu kita lakukan adalah penyelarasan berbagai sistem evaluasi eksternal mulai dari registrasi, lisensi, setifikasi, akreditasi tidak hanya pada berbagai level penyedia pelayanan kesehatan tetapi juga pada berbagai komponen (penyelenggara pendidikan), organisasi profesi untuk sama2 mengarah pada membangun mutu dan keselamatan pasien. Disamping itu juga perlu mengembangkan mekanisme reporting kinerja yang dapat diakses untuk tujuan pencegahan (ini bisa lembaga independent) dan membangun keterlibatan pasien dengan program pemberdayaan secara massive.
Massive Ageing Worldwide: Challenging and Reshaping Healthcare Quality and Safety
Catatan oleh: Djoni Darmadjaja
Gambar 1: Djoni Darmadjaja dan seluruh delegasi KARS pada ISQua 2017
Sesi ini juga merupakan sesi pre-conference yang diselenggarakan pada tanggal 1 Oktober. Disampaikan oleh Jeffrey Braithwaite, René Amalberti dan Wendy Nicklin dari ISQua dalam bentuk semi-workshop, dimana para peserta dibagi dalam berbagai kelompok diskusi dengan pengatar bahwa dengan adanya peningkatan populasi lansia pada 20-30 tahun kedepan maka akan berdampak pada standar pelayanan kesehatan dan pada prinsip mutu serta keselamatan pasien
Terdapat 7 tantangan yang akan dihadapi yaitu:
- Konsekwensi dari program preventive medicine adalah meningkatnya usia harapan hidup sehingga populasi lansia akan terus meningkat jumlahnya
- Meningkatnya kebutuhan akan pelayanan acut di RS
- Meningkatnya kebutuhan home care bagi pasien lansia akibat kebijakan rapid discharge yg diterapkan rumah sakit
- Meningkatnya julah lansia yang tinggal sendiri dirumah mereka
- Meningkatnya masalah kesehatan mental pada lansia karena penurunan fungsi kognitif
- Perubahan banyak metode pelayanan terkait kemajuan di bidan IT
- Perlunya perubahan dalam pengaturan dan kepemimpinan dalam sistem pelayan kesehatan
Worshop pada grup Asia Tenggara yang diikuti penulis, berhasil membuat rangking prioritas masalah yaitu tantangan no 7 merupakan prioritas pertama (ternyata hampir semua grup juga beranggapan sama), sedangkan untuk prioritas kedua adalah meningkatnya kebutuhan home care, prioritas ketiga adalah meningkatnya lansia yang tinggal sendiri dirumah.
Seluruh prioritas tersebut mengharuskan kita mulai berpikir untuk kembali memperkuat sistem pelayanan primer
Habits of an Improver
Catatan Hendra dan Ayu (Delegasi RSCM)
Pada sesi ini pembicara terus menerus mengingatkan bahwa seorang Improver harus memiliki the culture of Humanity atau budaya kemanusiaan baik ketika melayani pasien ataupun melayani staf disekitar kita.
Salah satu contoh the culture of humanity yang kemarin disampaikan adalah kebiasaan menanyakan ke pasien atau staf di sekitar kita tentang Hal Apa Yang Penting untuk Anda? (What matters for you?).
Dan hal tersebut bukan dilakukan dengan menyebarkan kuisioner kepuasan kepada staf atau meminta pasien mengisi form kepuasan, tapi dilakukan dengan betul-betul mewawancarai pasien atau staf tentang pengalamannya di RS dan apa yang paling penting untuk dirinya terkait hal tersebut.
Salah satu narasumber (Peter Lachman, ketua panitia) meminta kami untuk mengingat kembali hal-hal yang penting untuk diri kita tapi bukan terkait layanan kesehatan. Saya langsung teringat bagaimana pengalaman proses kami check in dan sarapan di hotel di hari sebelumnya.
(orang Inggris itu bawaan oroknya sudah ramah dan suka bercanda Ya… ramah sudah jadi culture of humanity-nya orang UK)
Kembali lagi ke hotel,
Ketika kami check in sebagaimana standar umumnya ditanya pesanan dan juga passport, tapi kemudian setelah semua selesai si resepsionis, Elizabeth, menanyakan ke kami “is this your first time in London??” kami jawab “Ya”
Dan kemudian dia memberikan peta London sambil berkata “Mungkin ini berguna utk Anda?”
WOW, sebegitu perhatiannya…
Tapi cerita belum selesai sampai disitu, Setibanya saya di kamar hotel ada hal kecil yang mereka lakukan tapi sangat berkesan, di TV Kamar terdapat tulisan GEDE “WELCOME MR. FIRMANSYAH”
Dan tidak lama kemudian telepon kamar berbunyi, ternyata dari resepsionis tadi (Elizabeth) dia menanyakan bagaimana kamarnya apakah sesuai harapan, dan dia bertanya:
“is there anything else i can do for you, to make your day better?”
“No, thank you (its already BEST not better , Dalam hati)”
Rasanya gimana gituh..
Walaupun sekedar tulisan dan telepon menanyakan bagaimana kamarnya, tapi bikin GR dan jadi infinite experience untuk saya
Selesai keramahan mereka?? BELUM
Besok paginya kami sarapan di hotel dan tentu saja ditanya dari kamar berapa dan berapa orang, kemudian kami di antar ke meja makan kami, dan KEMBALI LAGI ditanya “ini pertama kali Anda Sarapan disini??” “Ya”
Kemudian dia menjelaskan bagaimana cara memesan makanan dan makanan serta minuman apa saja yang ada disana. WOW.. kembali saya mendapatkan infinite experience dan merasa dimanusiakan.
Kami merasa jangankan di RS, di hotel saja di Indonesia kami belum mengalami hal seperti ini.
Tidak juga selesai sampai disitu kita juga sudah berfikir jika hal yang elok itu dapat di terapkan di RS kita di indonesia artinya kita seluruh staf warga rumah sakit harus juga siap kebanjiran pekerjaan baru yang sesungguhnya hal itu betul-betul harapan mereka sebagai pelanggan kita.
Dan sepertinya harus ada yang mengelola hal ini dikemas menjadi lebih bagus untuk di implementasikan. Singkat cerita mutu sesungguhnya sangat mengagumkan.
[/nextpage]
[nextpage title=”Reportase Hari Kedua”]
Reportase ISQua London 2017, Hari Kedua
Oleh:
Hanevi Djasri1, Novi Zein Alfajri2 dan Sugiarsih2
1Mewakili Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM, Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS), Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) dan Asosiasi Rumah Sakit Daerah (ARSADA), 2Mewakili RS Akademik UGM
New Paradigms and Practical Inspiration
Sesi ini dibawakan oleh Penny Pereira, Dominique Allwood, Helen Bevan dari UK. Panelis menjelaskan bahwa skala dan kompleksitas perbaikan yang dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan menuntut adanya cara belajar yang baru dengan melibatkan lebih banyak orang menggunakan rancangan yang lebih baik untuk diterapkan.
Sesi ini dibawakan secara interaktif untuk memberi inspirasi praktis bagaimana cara belajar dengan metode yang baru dan melibatkan partisipasi banyak orang, sesi interaktif ini antara lain meminta para peserta selama 2 menit untuk berdiskusi dengan peserta di sebelah tempat duduknya mengenai apa yang mereka kerjakan dalam peningkatan mutu, setelah sesi diskusi ini banyak peserta merasa bahwa apa yang mereka kerjakan ada sangkut-pautnya dengan peserta lain meski berasal dari belahan dunia yang lain, itulah pentingnya melakukan networking.
Sesi diawali dengan pengantar tentang istilah Learning, Action, Change, dan Improvement dengan penekanan bahwa kemungkinan proses tunggal yang paling penting dalam perubahan efektif adalah proses “learning while doing”. Skala dan kompleksitas perbaikan yang dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan menuntut adanya cara belajar yang baru dengan melibatkan lebih banyak orang menggunakan rancangan yang lebih baik untuk diterapkan. Sesi interaktif ini membahas teori mutakhir tentang bagaimana orang belajar, dengan fokus khusus pada peran jejaring untuk perubahan dan perbaikan dengan pendekatan siklus PDSA dan pembelajaran pada level sistem mikro hingga makro yang meliputi Culture of Continuous Improvement, Define Learning Structure, Supportive Leaders, dan Intuitive Knowledge Process.
Gambar: Siklus dalam perbaikan mutu di sistem makro
Peserta juga diminta melakukan self asessment singkat mengenai skala kompleksitas dari tantangan perbaikan yang dilakukan, dan mendorong peserta berpikir akan langkah-langkah solusinya. Peserta disadarkan kembali bahwa seringkali harapan dan realitas tidak sama. Perlu adanya desain, evidence, wawasan, dan evaluasi.
Pada sesi ini para pembicara memperkenalkan adanya komunitas mutu di United Kingdom, yang bekerja sama dalam upaya perbaikan mutu asuhan dan pelayanan kesehatan. Pembicara memberikan contoh pengalaman menarik dan inspiratif dari 2 anggota komunitas mutu tersebut (Frank dan Bethan) dalam upaya peningkatan mutu di lokasi mereka bertugas. Dalam upaya peningkatan mutu salah satunya adalah dengan mengadopsi sistem yang berhasil, akan tetapi hasilnya sering tidak sama atau tidak efektif. Dalam hal ini penting untuk menciptakan atau menyesuaikan konteks dan kecocokan dalam setting yang berbeda. Paradigma lama perlu ditinggalkan dan beralih ke paradigma baru yang lebih terbuka dalam membangun hubungan.
Sesi diakhiri dengan internalisasi poin-poin penting yang dikemas secara apik dengan cara peserta diminta mengambil kertas yang telah disediakan di bawah kursi masing-masing dan menuliskan poin pembelajaran yang mereka dapatkan dari sesi tersebut, kemudian meremas kertas tersebut dan melemparkannya ke peserta lain.
Closing the Gap Between Work-as-imagined and Work-as-done : Practical strategies for Implementing Resilient Health Care -45 minutes
Sesi ini dibawakan oleh Robyn Clay-Williams dan Jeffrey Braithwaite dari Australia. keduanya memaparkan mengenai konsep Ketahanan Pelayanan Kesehatan merupakan hal yang cepat mendapatkan daya tarik diantara peneliti, pemangku kebijakan, manajer dan profesional kesehatan akan tetapi masih sedikit informasi praktis tentang bagaimana gagasan itu dapat memberikan dampak. Kesenjangan antara kelompok Work as Done dan kelompok Work as Imagined memiliki klaim yang berbeda dan cukup menarik untuk dikaji di level praktik dalam sistem pelayanan kesehatan. Tantangannya adalah bagaimana mengurangi hal–hal yang tidak terduga (unpredictability) dan menurunkan kompleksitas (complexity) dalam sistem.
Pada sesi ini pembicara menguraikan pendekatan pemikiran sistemik/organisasi ke arah resilience. Bagaimana melakukan rekonsiliasi frontliner yang cenderung WAD dengan upliner yang cenderung WAI melalui pemahaman variabel-variabel terkait dan pendekatan tools yang dapat digunakan. Pelayanan kesehatan harus bergerak dari linear tools ke resilience area. Pentingnya memilih tools yang membuat orang menjadi mudah memahami sistem. Resilience dalam pelayanan kesehatan bisa jadi tidak perlu menerapkan terlalu banyak aturan yang justru membuat gap semakin besar. Aturan dan sistem harus mendorong orang untuk selalu terlibat dalam perubahan. Individual resilience mendorong group resilience, untuk menuju community/organizational resilience yang penting dalam peningkatan mutu dan keselamatan pasien. Di sisi lain, ada patient resilience yaitu adanya perspektif pasien dalam setiap proses.
Gambar: Salah satu internalisasi pemahaman dari peserta
Enhancing the Use of Patient Experience Data for Improving the Safety and Quality of Care
Pada topik The patient’s Voice dalam sesi ini disampaikan oleh Glenn Robert, Louise Locock, Laura Sheard, Caroline Sanders dari The Health Foundation, UK. Sesi disampaikan secara panel, menjadi sebuah perhatian reporter cara menyampaikan materi sangat simpel dan tidak banyak langkah, seperti misal pergantian penyaji dilakukan langsung dari penyaji satu ke penyaji selanjutnya tanpa dijeda oleh moderator. Ini sangat menghemat waktu.
Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa organisasi dalam hal ini rumah sakit yang menyelenggarakan asuhan berfokus pada pasien mempunyai outcome pelayanan yang lebih baik kualitasnya dan mendorong keselamatan pasien. Namun dianggap masih muncul banyak ketidakpastian dalam mendapatkan data tentang pengalaman pasien dan bagaimana cara menyajikan data untuk mengakomodir regulasi terkait pelayanan baik tingkat nasional maupun lokal.
Glenn Robert menyampaikan bukti penelitian menunjukkan bahwa banyak rumah sakit mendapatkan data tentang pengalaman pasien namun masih belum bisa memanfaatkannya untuk memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan.
Hasil dari empat proyek penelitian di Inggris ini menunjukkan bahwa pengalaman pasien yang didapatkan dengan menggunakan Family and Friend Test (FFT) yang dikembangkan oleh NHS (Nationale Health Service) dan pengembangan Patient Experience Team (PALS) rumah sakit sangat membantu menyajikan data untuk pengembangan pelayanan di rumah sakit. Bukan hanya tim resmi ini namun provider juga dapat dijadikan media untuk mendapatkan data tentang pengalaman pasien, misalnya saja dokter atau perawat yang mendengarkan langsung keluhan pasien ketika mereka dirawat, atau dengan sengaja menanyakan bagaimana pengalaman dan cerita pasien tentang perawatan di rumah sakit tersebut. PALS tim ini salah satu fokusnya adalah pemecahan isu/masalah yang disampaikan pasien sebelum selanjutnya menjadi komplain.
Data tentang pengalaman pasien bisa didapatkan dengan berbagai metode:
- Kuantitatif dan kualitatif: bukan hanya pengalaman apa yang didapatkan namun juga mengapa pengalaman itu dikatakan kurang baik, apa yang menurutnya baik. Jadi pasien diminta manyampaikan ide perubahan
- Comment card (Not just complaint): mungkin ini lebih pada kotak saran, namun isinya bukan hanya komplain namun bisa juga hal positif atau usulan saran untuk pengembangan rumah sakit
- Wawancara mendalam: bersifat persuasif dan bentuk narasi
- Online comment: difasilitasi melalui sosial media dengan meminta pendapat tentang pelayanan di rumah sakit.
Berikut tahapan pengembangan pelayanan berdasarkan data pengalaman pasien:
Di Indonesia, data tentang pengalaman pasien belum terbiasa digali pihak rumah sakit, biasanya RS menggunakan data kepuasan pasien melalui survei dengan pertanyaan tertutup. Hal ini terkadang membatasi pernyataan pasien untuk diungkapkan terkait dengan pengalamannya mendapatkan perawatan di suatu rumah sakit. Metode penggalian pengalaman pasien akan lebih mengeksplorasi perasaan pasien dalam menyampaikan apa yang dialami selama dirawat. Dengan data yang lebih luas maka harapannya banyak data yang dapat digunakan untuk mendesain sebuah perkembangan pelayanan di rumah sakit sesuai dengan kebutuhan pelanggan.
Dari hasil penelitian tersebut, maka dapat direkomendasikan bahwa rumah sakit sebaiknya sudah mulai mengembangkan “Patient Voice” dengan menggunakan metode Patient Experience (PEx) bukan lagi survei kepuasan yang hanya mendapatkan data dari pertanyaan tertutup untuk pasien. Banyak sekali metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan Patient Experience tersebut misalnya saja dengan Family and Friend Tes, Picker survey, NHS IP survey atau dengan sosial media. Salah satu contoh Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada yang mengembangkan sosial media sebagai alat untuk mendapatkan masukan dari pasien dalam bentuk Instagram, Facebook, dan Website yang dikelola khusus oleh Instalasi Humas. Beberapa pengalaman, masukan, komplain dan saran diterima melalui media tersebut. Hal ini dipandang efektif untuk mendapatkan masukan dari pasien atau keluarga. Tambahan catatan dari reporter yang diambil dari Evidence Scan milik The Health Foundation in England yang diterbitkan pada 2013 tentang Measuring Patient Experience
The Impact of Regulation and Accreditation, on Healthcare Organisations
Terdiri dari 2 sesi, yaitu sesi dengan judul “Healthcare Regulation Policy and Practice – Making a Difference?” yang dibawakan oleh Kieran Walsh dari Inggris dan sesi dengan judul “How do Accreditation Agencies Design their Regulatory Regime/Inspection Model to Maximise Desired Impacts” yang dibawakan oleh Christine Dennis.
Walsh menjelaskan bagaimana regulator kesehatan mempertimbangkan dampak intervensi dari sebuah peraturan, dan mekanisme dimana dampak tersebut terjadi. Penjelasan Walsh diambil dari hasil penelitian empiris mengenai The Care Quality Commission di Inggris tentang bagaimana membuat regulasi menjadi lebih efektif menghasilkan dampak yang diinginkan.
Walsh menyebutkan bahwa regulasi yang memiliki fokus kepada peningkatan mutu harus: 1) benar-benar jelas akan maksud dan tujuan regulasi serta masalah mutu yang ingin diatasi. 2) benar-benar memetakan dampak yang ingin dicapai serta memaksimalkan efektivitas regulasi sekaligus juga meminimalkan dampak regulasi yang tidak diharapkan. 3) menyusun indikator untuk mengukur keberhasilan regulasi baik pencapaian mutunya maupun efektivitasnya. 4) mengukur secara berkala pencapaian serta mengadakan pertemuan berkala antara regulator dan yang diatur.
Implementasi dari apa yang Walsh katakan, dijelaskan oleh Dennis terkait dengan regulasi dan akreditasi di Australia, dan khususnya, siapa yang mengatur dan bertanggung jawab atas kualitas layanan kesehatan; apa peran dari standar dan akreditasi dan, serta yang terpenting menjelaskan mengenai peran kepemimpinan kesehatan dan budaya organisasi dalam memaksimalkan dampak yang diinginkan.
Dennis menjelaskan lebih lanjut bahwa ACHS (lembaga akreditasi Australia) telah cukup berhasil mencapai tujuan regulasi akreditasi, yaitu menciptakan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi, pelayanan yang memiliki budaya keselamatan pasien, keterlibatan staf dan staf yang senantiasa dapat mengajukan usulan-usulan perbaikan. Hal ini dibuktikan dengan ranking Australia yang menduduki urutan pertama untuk outcome pelayanan kesehatan di seluruh negara persemakmuran.
Gambar: Posisi Australia dibanding dengan negara-negara persemakmuran lain
Berdasarkan penjelasan para pembicara maka penulis mengusulkan agar Indonesia dapat menjabarkan dokumen regulasi akreditasi RS maupun FKTP dalam bentuk pedoman yang dapat digunakan untuk lebih menjelaskan maksud dan tujuan akreditasi serta indikator keberhasilan yang digunakan disamping dari jumlah fasyankes yang lulus akreditasi.
Gambar: e- Poster dari KARS sedang mendapatkan kunjungan dari Delegasi Taiwan
[restabs alignment=”osc-tabs-left” responsive=”false”]
[restab title=”Note 1″ active=”active”]
1. Peningkatan Patient Safety dan Patient and Family Voice
Menjadi topik besar dan framework ke depan yang selama ini belum banyak digali untuk proses perbaikan melalui Learning Action Change and Improvement. Metode ini diperbarui melalui new power dengan nilai-nilai baru yaitu kolaborasi sharing yang lebih terbuka walaupun berbeda pendapat serta membangun networking dan relationship “baik di level makro dan mikro. Konsep new power adalah saling belajar dan mengajar sehingga mulai dari level pembuat regulasi hingga rumah sakit merupakan networking dan pemanfaatan multi channel. bekerja sama menggunakan gabungan learning change dan improvement proses menjadi lebih cepat untuk perubahan yang diinginkan. Makro dan mikro sistem dalam satu tim dengan new power akan membuat implementasi dan peningkatan patient safety di Indonesia lebih cepat. Saya kaitkan dengan patient voice dan menyajikan data dari indikator yang diukur secara nasional (metric) dan mengukur outcome pasien yang direfleksikan untuk memperbaiki berbagai regulasi JKN kita. Coba lihat kasus yang terakhir di Indonesia dengan bayi D tidak sampai 1 minggu regulasi dapat berubah jika disajikan dengan cara yg cerdas dengan data analisa yg baik dan kerja kolaboratif level makro dan mikro saya yakin akan ada perubahan baik dari regulasi patient safety yang dipengaruji baik langsung maupun tidak langsung dengan tarif JKN (Catatan: Fathema Djan)
Gambar: Dr. Fathema dan delegasi RS Pelni diseberang gedung pertemuan ISQua 2017
[/restab]
[restab title=”Note 2″]
2. Mendekatkan Permasalahan dengan Pembuat Kebijakan.
Siapa dulu pembunuh terbesar Londoners? Bukan Jack the Ripper ….but kolera …Yup
pencemaran luar biasa pada sungai Thames menyebarkan aroma busuk hingga ke House of Parliament yang memaksa mereka menutup kantor dewannya dan kemudian pindah. Tetapi hal itulah yang membuat para politisi tersebut langsung memikirkan dana untuk membuat sistem irigasi luar biasa dan ketika membangun sistem tersebut mereka juga membuat 2 tube atau gorong-gorong raksasa yang kemudian menjadi dasar bagi London atau underground tube.
Message: dekatkan masalah dengan pembuat kebijakan dan berpikir jauh ke depan (catatan Vira Wardani dari Old Westminster Tour)
[/restab]
[restab title=”Note 3″]
3. Cara Membuat Patient Stories.
Pada sesi breakfast session tentang Patient Voices, disampaikan tips membuat stories, yaitu: 1. Perhatikan AUDIENCE atau sasaran dari cerita tersebut, 2. Tentukan KEY MESSAGE yang akan disampaikan, 3. Pastikan cerita SHORT & SWEET, 4. sampaikan hal-hal yang MENARIK DAN MENGGUGAH (CAPTIVATE), 5. dan jangan lupa untuk SHARE.
Contoh hasil membuat patient stories bisa dilihat di sini https://youtu.be/NQFS8pWE6B4 dan disini https://youtu.be/LZ2t6Oy0n1g (catatan Hendra Firmansyah)
[/restab]
[restab title=”Note 4″]
4. Dari Sesi Debat ISQua
Apakah kita memerlukan sedikit atau ratusan indikator untuk mutu pelayanan kesehatan? Pelayanan kesehatan sering disebut sebagai sistem nomor wahid paling kompleks di dunia sehingga tidak pernah mudah menggambarkan kompleksitas tersebut secara sederhana tanpa mengurangi kekayaan informasi yang diperlukan. Mengukur mutu tidak hanya ditujukan untuk mengetahui sampai dimana kita, tetapi juga proses yang terjadi sehingga kita melakukan proses perbaikan dengan tepat. Di sisi lain, kompleksitas pengukuran juga berisiko akan menyebabkan tenggelamnya kita pada data tanpa bisa mengambil makna selain faktor sumber daya yang diperlukan. Jadi kembali bagaimana kita bisa menetapkan, small but beautiful data. Passionate people are lowering down in the organization…their effort were not embrace and recognized. (Catatan Viera Wardani)
[/restab][/restabs]
Video Catatan dari Delegasi Indonesia
[restabs alignment=”osc-tabs-left” responsive=”false”]
[restab title=”Video 1″ active=”active”]
Sutoto, Ketua KARS: Pertemuan ISQua ini menginspirasi KARS untuk memberikan dukungan untuk penelitian dalam bidang akreditasi RS
[/restab]
[restab title=”Video 2″]
Nico Lumenta, Komisioner KARS: Kita harus mendengarkan patient voices untuk dapat meningkatkan mutu asuhan yang DNA-nya terdiri dari: Safety, Mutu dan Budaya
[/restab]
[restab title=”Video 3″]
Rita Zahara, Dokter Spesialis Jantung RS Jantung Harapan Kita: Pengalaman memakai “sepatu orang lain” untuk memahami berbagai perspektif yang berbeda
[/restab][/restabs]
[/nextpage]
[nextpage title=”Reportase Hari Ketiga”]
Reportase ISQua London 2017, Hari Ketiga
Oleh:
Hanevi Djasri1, Novi Zein Alfajri2 dan Sugiarsih2
1Mewakili Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM, Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS), Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) dan Asosiasi Rumah Sakit Daerah (ARSADA), 2Mewakili RS Akademik UGM
What Works Best at What level from Government to Front Line Individuals?
Sesi plenary ini menjelaskan bagaimana kita dapat bekerjsa secara lebih cerdas, yaitu pendekatan kekuatan populasi. Disampaikan oleh Geraldine Strathdee, seorang clinical leader dari public health London, melalui studi kasus di kesehatan jiwa, dimana mereka menggunakan berbagai media sosial untuk memberikan informasi dan self management untuk pasien.
Geraldine menekankan betul “power of modern social media” untuk menggerakkan partisipasi masyarakat. Contoh ke “mental health intelligence network” membuat adanya kerjasama antar institusi untuk membangun sistem peningkatan mutu kesehatan, contoh lainnya dapat disimak di www.fingertips.phe.org.uk untuk melihat benchmark.
Melalui pendekatan tersebut, UK telah bersama-sama mengidentifikasi big quality isu untuk mental health (lihat foto) yang kemudian digunakan oleh semua stakeholder sebagai dasar perbaikan mutu.
Policy, Measurement & Activated Learning
Sesi ini disampaikan oleh Heitham Awadalla dari Sudan dan Ed Kelley serta Syams Syed dari WHO sebagai bagian dari sesi Triangulating for Quality Service Delivery, yaitu antara Policy-strategy, Measurment dan Learning.
Para pembicara memulai sesi dengan menyampaikan bahwa penyediaan layanan berkualitas memerlukan reformasi sektor kesehatan yang efektif, dimana upaya perbaikan dan pengukuran secara lokal (di suatu negara) memerlukan pembelajaran global sebagai masukan bagi penyusunan kebijakan dan strategi nasional.
Sesi ini berfokus pada tiga titik masuk utama dalam meningkatkan kualitas layanan kesehatan. Pertama, menggeser paradigma dari kebijakan top down menjadi bottom up untuk implementasi kebijakan dan strategi peningkatan mutu. Kedua, secara proaktif menerapkan pendekatan pengukuran untuk memaksimalkan dampak upaya peningkatan kualitas. Ketiga, pelajaran bertingkat terus – menerus di tingkat nasional dan global untuk memastikan pembelajaran aktif tentang upaya peningkatan mutu agar tercapai perubahan pada semua tingkat pemberian layanan kesehatan.
Delegasi Sudan memaparkan proses dan hasil dari penyusunan National Quality Policy and Strategy yang telah mereka kerjakan.
Pengalaman Sudan dalam membangun NQPS National Quality Policy and Strategy: Sudan telah mempunyai Direktorat Mutu sejak 2001 dengan kegiatan membuat SOP akreditasi, ps dan ppi, tapi masih tidak terintegrasi dan tidak sustain, kemudian Sudan membangun NQPS untuk: menyamakan persepsi tentang mutu; memperbaiki tata kelola dan kompetensi; memperbaiki SDM manajemen; serta membangun Health System.
Proses penyusunan NQPS sesuai yang disarankan oleh WHO (yang juga akan Indonesia kerjakan), yaitu: membuat task forces, didukung oleh WHO country office, konsultan dari WHO Pusat, analisis situasi saat ini, stakeholder meeting kemudian menyusun draft NQSP lalu melakukan proses advokasi.
Pembicara kemudian menyajikan hasil penyusunan dokumen NQSP yang terdiri dari: 1. visi dan misi; 2. dimensi dan definisi (dimensi mutu menggunakan 6 dimensi mutu WHO ditambah dimensi sustainability); 3. prioritas ada 4 (lihat foto); dan 4. Tata kelola yang dipimpin National health and sosial coordinator committee (NHSCC), semacam menteri koordinator kesehatan dan sosial.
Penulis dalam sesi tanya jawab menanyakan ada dimana metode perbaikan dan metode pembelajaran (sebagai bagian dari Triangulating for Quality Service Delivery) serta juga menanyakan apakah WHO akan menyusun daftar rekomendasi metode-metode tersebut yang telah memiliki bukti ilmiah terkait efektivitas metode tersebut dalam meningkatkan mutu dalam konteks negara-negara yang berbeda. Jawabannya, secara umum hal tersebut belum selesai disusun detail dan baru akan dipresentasikan pada pertemuan di Tokyo pada Desember tahun ini.
Gambar: Proses pengembangan NQPS yang disarankan oleh WHO
Gambar: Tampilan web WHO Global Learning Laboratory for Quality UHC (http://www.who.int/servicedeliverysafety/areas/qhc/gll/en/)
Catatan Delegasi Indonesia
[restabs alignment=”osc-tabs-left” responsive=”false”]
[restab title=”Note 1″ active=”active”]
1. Working with the patient voice to improve their system
Halo sekedar sharing, setelah kita mendapatkan data dari patient voice, lalu bagaimana melakukan pengukurannya? Dari beberapa sesi perihal data driven, dan sesi patient voice, ditutup oleh sesi dari Health quality & safety commission new zealand, dengan judul: Working with the patient voice to improve their system. Melakukan pengukuran patient experienced untuk melakukan perbaikan sistem.
Aspek Patient experienced adalah hal yang penting saat ini. Rumah sakit harus bisa memberikannya secara konsisten, pada setiap individual, dan setiap waktu. Lantas setelah konsisten tentu harus diukur efektivitasnya.
Prinsipnya adalah: importance, evidently based, affordable, dan sustainable. Tools: survey; patient wall (semacam papan kaizen tapi untuk pasien); FGD (opsional)
Dari hasil survei ketidakpuasan pelanggan, justru kita fokuskan pada area dengan skor paling rendah. Mengapa? Karena disitulah akan terlihat minor issue yang sebenarnya sensitif. Dalam statistik, skor terbesar adalah angka hasil agregasi yang tidak bisa mendeteksi kedalaman masalah. Skor terkecil justru memberikan pengaruh korelasi terbesar terhadap variabel dependen. Survei dilakukan pada ruang ranap dewasa. Kemudian kita fokuskan kembali pada what matters to them, dari apa yang mereka utarakan.
Langkah peningkatannya: di ruang manakah hal tersebut terjadi?; hal apa yg akan ditingkatkan?; mengukur discharge complain, mengukur pulang paksa dan APS, lalu dihitung korelasinya; lantas membuat analisa bagaimana kita membangun proses komunikasi pada setiap kepulangan pasien, dari hasil korelasi tadi.
Challenge di Indonesia: menghubungkan hasil pengukuran ini dengan national measures, karena belum menjadi indikator standar mengenai seberapa baik rumah sakit melakukan improvement berdasarkan patient voice.
Ide improvement untuk RS kita: mengubah goal dari hasil pengukuran itu sendiri. Before: hasil survei kepuasan dan ketidakpuasan hanya melihat skor terbesar, After : melihat improvement yang dilakukan pada skor terkecil bertahap ke skor terbesar. Kemudian didokumentasikan sebagai tindakan korporasi dalam memberikan improvement dalam hal patient centeredness care. But… Always it is to be discussed further... 😊
(catatan Haryo Gumilar, R&D RS Pelni)
[/restab]
[restab title=”Note 2″]
2. Benchkmark
Barangkali selama ini diantara kita (penggelut dunia kesehatan), selalu benchmark di lingkup yang sama, sama-sama rumah sakit misalnya baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Rupanya jika kita melebarkan mata dan menajamkan telinga, maka kita akan mendapatkan informasi lebih yang dapat dikloning dan dimanfaatkan untuk kelangsungan proses bisnis kita.
Telah terbukti beberapa yang bisa dikloning (walaupun tidak 100%), antara lain:
- Industri perbankan, untuk sistem antrian;
- Industri manufaktur (pabrik mobil misalnya), untuk “one piece flow & just in time“;
- Hotel untuk layanan hospitalisasi;
- dan lain-lain
Dari bisnis penerbangan, rumah sakit dan layanan kesehatan lainnya, bisa banyak belajar, mereka menerapkan:
- Standarisasi yang cukup ketat dan ter – update setiap saat.
- Otomatisasi.
- Manajemen risiko yang sangat rapi.
- Bertindak profesional.
- Bagaimana menjaga emosi.
- Sangat lihai untuk mengatasi kondisi darurat.
- Pantang bosan menyampaikan edukasi dan informasi kala bersua dengan customer setiap saat.
Demi Keselamatan. Mereka sangat mengutamakan Rekaman (baik oral maupun visual), daripada data yang didapatkan dari wawancara. Karena hal ini mempunyai akurasi yang lebih tinggi dan menjadi barang bukti yang sangat baik. Pelajaran demi pelajaran mereka dapatkan untuk senantiasa ditindaklanjuti dengan perbaikan standar.
(Catatan oleh Danti, RS Pelni)
[/restab]
[/restabs]
Video Delegasi Indonesia
KARS menerima International Accreditation Awards dari ISQua
[/nextpage]