Oleh: dr. Dwi Rizka Paramitha | Editor: dr. Nurwestu Rusetiyanti, M.Kes., Sp.D.V.(K)
Human Imunnodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang dan melemahkan pertahanan tubuh manusia,sehingga mudah tertulas oleh berbagai penyakit. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala penyakit akibat menurunnya daya tahan tubuh yang disebabkan oleh HIV.
Saat seseorang terinfeksi HIV, tidak secara langsung akan menimbulkan gejala butuh waktu sekitar 5-10 tahun sebelum menderita AIDS. AIDS akan semakin lama muncul dan kualitas hidup menjadi lebih baik dengan mengkonsumsi obat anti retroviral (ARV) secara teratur.
HIV terdapat di dalam darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu. HIV dapat ditularkan melalui beberapa cara, dan penting bagi kita untuk memahaminya agar dapat menghindari penularan virus ini:
- Hubungan seksual (anal dan vagina) tanpa kondom.
- Transfusi darah dan transplantasi organ dari orang yang terinfeksi HIV.
- Penggunaan jarum yang terkontaminasi/tidak steril.
- Transmisi dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya selama kehamilan, persalinan dan menyusui.
Namun, perlu diketahui juga bahwa HIV tidak menular melalui:
- Bersentuhan, berciuman, bersalaman dan berpelukan
- Berbagi peralatan makan dan minum
- Menggunakan kamar mandi bersama
- Berenang di kolam renang
- Gigitan nyamuk
- Tinggal serumah bersama ODHIV
Memberikan informasi yang benar tentang HIV sangat penting untuk menyebarkan kesadaran mengenai risiko dan pencegahan HIV. Kampanye edukasi harus mencakup informasi tentang tidak melakukan diskriminasi terhadap orang dengan HIV, pentingnya pengobatan ARV (Antiretroviral), dan pentingnya kepatuhan minum obat untuk menekan viral load dan mempertahankan kesehatan penderita HIV.
Salah satu hambatan paling besar dalam pencegahan HIV/AIDS di Indonesia adalah masih tingginya stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Banyak yang beranggapan bahwa ODHA layak mendapatkan hukuman akibat perbuatannya sendiri, ada juga yang beranggapan bahwa ODHA adalah orang yang bertanggung jawab terhadap penularan HIV/AIDS. Hal inilah yang menyebabkan ODHA menerima peralakuan yang tidak adil, diskriminasi, dan stigma karena penyakit yang diderita. Dikucilkan dari lingkungan sosial, penyebarluasan status HIV dan penolakan dari pelbagai lingkup kegiatan masyarakat hingga layanan kesehatan merupakan bentuk stigma yang dapat terjadi.
Stigma terhadap ODHA berdampak besar pada program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS termasuk kualitas hidup ODHA. Populasi yang beresiko akan takut untuk melakukan pemeriksaan HIV karena ada ketakutan apabila terungkap hasilnya reaktif dan mereka akan dikucilkan sehingga memutuskan untuk menunda pengobatan, yang akan berdampak pada menurunnya tingkat kesehatan dan penularan HIV menjadi tidak terkontrol.
Pengetahuan tentang HIV/AIDS sangat mempengaruhi sikap seseorang terhadap penderita HIV/AIDS. Stigma terhadap ODHA muncul sebagai akibat kurangnya informasi mengenai mekanisme penularan HIV/AIDS. Pemberian pengetahuan atau informasi terkait HIV/AIDS adalah salah satu cara efektif untuk menjelaskan tentang pencegahan dan penularan HIV/AIDS sehingga dengan adanya pengetahuan yang baik dan benar terkait HIV diharapkan dapat menurunkan bahkan menghilangkan stigma pada ODHA.
Dukungan moral yang dibutuhkan oleh orang yang terinfeksi HIV sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, sehingga mereka tetap dapat hidup sehat, dan produktif. Dukungan tersebut salah satunya diperoleh melalui kelompok dukungan sebaya (KDS). Pengaruh dukungan sebaya terhadap ODHA antara lain dapat membantu meningkatkan kepercayaan diri, pengetahuan HIV, akses layanan HIV, perilaku pencegahan HIV, dan kegiatan positif yang lebih tinggi dibandingkan ODHA yang tidak mendapatkan dukungan sebaya.
Peran penting selain pemerintah dan masyarakat, adalah keluarga. Saat ODHA memasuki masa transisi sejak mengetahui dirinya terinfeksi virus HIV, disinilah peran penting keluarga dibutuhkan dan diharapkan keluarga dapat memainkan peran dalam hal memberi perawatan dan dukungan kepada anggota keluarga yang terinfeksi HIV. Keluarga bisa menjadi pengawas minum obat bagi pasien terapi ARV tidak hanya sekedar sebagai pengingat tetapi juga dukungan bagi mereka untuk tetap berkuang melawan penyakitnya. Dengan adanya PMO meningkatkan kepercayaan diri dan stabilitas emosi pasien sehingga lebih mudah untuk memulai pengobatan. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan PMO dipercaya terbukti meningkatkan kepatuhan minum obat pasien.
Daftar Pustaka:
Buku Saku HIV AIDS dan IMS, Kementrian Kesehatan, 2016
Kementrian Sosial RI. 2005. Pedoman Upaya Menghilangkan Stigma dan Diskriminasi HIV/AIDS. Jakarta
Shaluhiyah, Z., Mustofa, S., Widjanarko, B., 2015., Stigma Masyarakat terhadap Orang dengan HIV/AIDS., Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9 No. 4.
Suryani, NK., Siregar, KN., 2021., Pengetahuan tentang HIV/AIDS dan Diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/AIDS pada Wanita Usia Subur di Indonesia., Jurnal Ilmiah Kesehatan Vol.20 No.3
WHO, 2021, Consolidated Guideline on HIV Prevention, Testing, Treatment, Service Delivery and Monitoring: Recommendation for a Public Health Approach
Wardana, Ketut Eka., Triguno, Yopita., Candra, Gusti Putu., et al, 2015., Hubungan Status Pengawas Minum Obat dengan Kejadian Loss to Follow Up pada Terapi ARV, Jurnal Keperawatan dan Kebidanan.
Yayasan Spirita., 2011, Laporan Penelitian Peran Dukungan Sebaya terhadap Peningkatan Mutu Hidup ODHA di Indonesia