“Anakku sudah mau masuk sekolah tapi belum hafal abjad” atau “Kalau anakku sejak kecil sudah dilatih untuk membaca, memakai kata-kata langsung tanpa mengeja, hasilnya umur 2 tahun sudah bisa membaca” adalah sebagian dari komentar dan diskusi di kalangan orangtua. Sedemikian pentingnya kemampuan
membaca dan kemampuan dasar menulis serta berhitung (calistung) seolah menentukan standar pencapaian dan pembandingan tahap perkembangan anak. Alhasil, para orangtua dan tentu saja para guru terimbas akan adanya tuntutan untuk mengupayakan agar anak segera bisa mengenal huruf dan membaca, kalau perlu tidak harus melewati proses yang panjang dan menimbulkan trauma atau frustrasi. Fenomena ini menimbulkan optimisme dan merangsang para ahli pendidikan anak untuk mengembangkan metode pengajaran membaca ini sedini mungkin dengan cara yang diharapkan tetap berpedoman pada kaidah-kaidah
pengajaran ideal. Hasilnya? Tidak sedikit justru hal inilah yang menyebabkan kekuatiran berlebihan orangtua, karena berdampak pula pada ukuran kepantasan penerimaan masuk sekolah yang menggunakan acuan pencapaian kemampuan mengenal huruf, mengeja, membaca abjad menjadi kata dan kemampuan
merangkai kata-kata menjadi kalimat bermakna sebagai ukuran kemampuan berkomunikasi. Cukup memprihatinkan ketika anak dalam usia yang sangat muda (sekitar 2 tahun) sudah terjadwal mengikuti les membaca – bisnis yang menggiurkan sekaligus kesempatan meredakan kecemasan orangtua terhadap
kemampuan membaca si anak. Tujuan orangtua adalah menyiapkan anak untuk mampu berkompetisi. Semakin banyak ketrampilan dan kemampuan yang dikuasai dalam usia yang lebih muda, seolah mengkonfirmasi kehebatan orangtua dalam pengasuhan anak mereka. Benarkah kemampuan membaca dini
menjadi jaminan sukses anak selanjutnya?
Hari Aksara/Literasi Internasional (International Literacy Day) yang diperingati tanggal 8 September mengingatkan kita akan pentingnya literasi atau kemampuan membaca dan menulis, serta berbahasa. Jumlah penduduk Indonesia usia 5-95 tahun yang masih buta huruf adalah 10,07% atau 19.585.303 dari total penduduk yang dapat membaca huruf Latin dan lainnya berjumlah 194.477.775 (BPS, 2014). Yang belum dapat membaca untuk kelompok umur 10-14 tahun adalah 1,7% dan kelompok 20-24 tahun adalah 1,5%. Literasi, atau kemampuan membaca, menulis dan berkomunikasi memungkinkan seseorang untuk maju dan terkoneksi dengan dunia luar. Literasi merupakan alat ampuh pemberdayaan pribadi dan perkembangan sosial manusia. Banyak penelitian menunjukkan literasi menurunkan angka kemiskinan, kematian anak, mencegah pertumbuhan penduduk, meningkatkan kesetaraan jender dan mendorong pembangunan berkelanjutan, keamanan dunia serta demokrasi (Laporan PBB, 2010).
Walikota Surabaya di tahun 2014 mencanangkan Kota Surabaya sebagai Kota Literasi. Tujuannya untuk mendorong kebiasaan masyarakat membaca selama 15 menit dalam sehari, sehingga nantinya anak-anak memiliki bekal pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan membaca teratur. Hal ini sejalan dengan Hari Aksara Internasional 2015 yang oleh UNESCO bertema “Literacy and Sustainable Societies” atau yang dalam bahasa Indonesia disesuaikan menjadi “Keaksaraan membangun Keadaban dan Keunggulan Pembangunan Berkelanjutan”. Lalu bagaimana kesinambungan program pemerintah ini dengan peran kita dalam keluarga menghadapi tantangan yang lebih besar?
Membaca dan menulis sesungguhnya adalah kegiatan kompleks karena melibatkan berbagai aspek. Ketika belajar membaca, seorang anak perlu mengerahkan kemampuan kognitifnya agar ia dapat mengolah data yang berupa simbol-simbol untuk dapat dimaknai sebagai huruf-huruf, kata-kata, hingga akhirnya membentuk kalimat yang bermakna. Selain faktor kognisi, faktor metakognisi juga berperan besar menangkap arti bacaan yang dibaca. Membaca juga membutuhkan atensi, minat dan motivasi, agar seorang anak dapat bertahan dan menjadi senang saat membaca. Kegemaran membaca bisa berawal dari keluarga, yaitu dari memperkenalkan, menyediakan buku-buku, membaca gambar, menceritakan dari buku, membiasakan membaca di rumah serta teladan membaca yang menjadi kebiasaan. Kegemaran membaca bisa diperoleh dari lingkungan luar rumah (teman, guru atau dari perpustakaan). Membaca memperlancar seseorang dalam mengejar pendidikan, namun membaca juga membuat individu mampu secara praktis menerapkan keterampilannya dalam kehidupan sehari-hari, atau sering disebut sebagai keterampilan fungsional. Dengan kemampuan membaca, seseorang dapat terlibat aktif dalam kehidupan sosialnya. Bila anak yang dapat membaca, maka ia dapat bepergian mandiri karena dapat memahami rambu-rambu lalu lintas, dapat mengendarai bis umum, dapat mengenal nilai uang dan lain sebagainya. Untuk dapat mencapai pemaknaan, tidak jarang seorang anak mengalami kesulitan, sehingga diperlukan bantuan guru, ahli tumbuh kembang, atau Psikolog, yang dapat menjadi partner dalam mengatasi permasalahan dan menjalankan program untuk menghadapi gangguan yang berkenaan dengan kemampuan literasi.
Dengan perkembangan teknologi dan pengetahuan modern, melalui kemampuan baca-tulis maka seseorang dapat berdialog, berkomunikasi dan berjejaring dengan berbagai kalangan dan kelompok masyarakat dalam berbagai hal. Keterampilan literasi merupakan investasi masa depan yang memungkinkan suatu bangsa untuk maju. Meskipun demikian, dengan dikuasainya keterampilan literasi bukan berarti tidak ada dampak negatif yang muncul. Perkembangan teknologi yang pesat meningkatkan menggunakan komputer, gadget seperti tablet dan smartphone. Dampak negatif seringkali terjadi dari penggunaan peralatan-peralatan tersebut, karena dunia yang dihadapi manusia menjadi semakin tidak bertepi. Semua orang dapat berhubungan dengan semua orang dari berbagai belahan dunia yang memiliki karakteristik, motivasi dan tujuan berbedabeda. Fakta yang memprihatinkan saat ini adalah justru teknologi modern ini digunakan untuk membantu anak belajar mengenal huruf kemudian membaca. Lihatlah di sekeliling kita, trend penggunaan gadget sudah merambah anak-anak dan mampu membuat mereka ‘tenang’. Saat anak-anak bebas dari buta huruf, mereka membaca dan menyerap informasi setiap saat. Tantangan terbesar saat masyarakat sudah bebas buta huruf terletak pada kemampuan memfilter informasi yang dibaca dan menyampaikan buah pikir yang baik. Modus penipuan dilakukan dengan menggunakan bahasa yang menarik dan canggih, sehingga banyak orang terperosok, tertipu, ataupun mengambil keputusan yang salah. Media sosial dan layanan pesan singkatseluler kerap digunakan oleh mereka yang tidak bertanggungjawab dan yang punya niat buruk untuk menyebarkan informasi yang tidak benar atau tidak pantas.
Menyikapi tantangan tersebut, kita semua perlu lebih kritis dan tidak mudah terlena oleh ajakan-ajakan yang disampaikan melalui tulisan atau bacaan. Jika dikembalikan pada pengasuhan dini, pembiasan untuk berpikir kritis terjadi di lingkungan terkecil yaitu keluarga, namun juga dapat melalui sekolah, ataupun masyarakat. Melalui program-program parenting, orangtua dilatih untuk mendampingi anak mengembangkan sikap kritis ketika membaca suatu informasi agar meningkatkan kepercayaan dirinya sehingga tidak mudah terbujuk atau tertipu oleh apa yang dibacanya. Orangtua juga harus terlibat dalam pemilihan buku-buku yang dibaca anak. Sementara itu, guru di sekolah dan masyarakat berfungsi sebagai kontrol sosial. Ketika melihat ada yang kurang sesuai dalam lingkungannya, misalnya spanduk yang bertuliskan bujukan atau hasutan, atau berita miring yang disampaikan melalui media sosial, maka ada baiknya mereka melakukan suatu aksi agar tidak banyak orang yang terpengaruh. Pendidikan masyarakat, dalam hal ini dapat dilakukan agar masyarakat mengembangkan nilai yang positif. Jika ditemukan kesulitan dan gangguan dalam pencapaian kemampuan literasi, maka sangat disarankan agar orangtua berkonsultasi segera kepada Psikolog bidang spesialisasi yang sesuai agar bisa dilakukan intervensi dini atas kesulitan atau gangguan tersebut.
Melalui peringatan Hari Aksara/Literasi Internasional ini, kita semua diingatkan bahwa melalui literasi dan berpikir kritis, bangsa Indonesia dapat semakin mengembangkan kualitas diri melalui kemampuan untuk mengantisipasi resiko dan konsekuensi dari informasi yang diserap tiap saat.
Oleh: Dr. Lucia RM Royanto, MSi, MSpEd, Psikolog (Ketua Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia)
Program Suara Pena Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) mendukung Hari Aksara Internasional 2015 bertema “Keaksaraan membangun Keadaban dan Keunggulan Pembangunan Berkelanjutan” 8 September 2015.
Disetujui oleh : Dr. Seger Handoyo (Ketua Umum HIMPSI)
Editor : Josephine M.J. Ratna, MPsych, PhD
Gambar muka dari Kemendiknas
Literasi dan kemampuan baca tulis adalah bentuk pendidikan dasar yang masih kurang di Indonesia. Artikel ini menunjukkan pentingnya meningkati tingkat literasi di Indonesia.