Oleh: dr. Farida Niken Astari Nugroho Hati, M.Sc., SpN
Penyakit Parkinson adalah gangguan neurodegeneratif kronis yang ditandai oleh hilangnya sel-sel saraf di otak, khususnya di area yang disebut substantia nigra.
Gangguan ini pertama kali dikenali dan dideskripsikan oleh Dr. James Parkinson pada tahun 1817 dalam tulisannya yang berjudul “An Essay on the Shaking Palsy”. Dalam tulisan tersebut, Dr. Parkinson menggambarkan sejumlah gejala yang dikenal sekarang sebagai gejala khas Parkinson, seperti tremor, kekakuan otot, bradikinesia (pergerakan lambat), dan gangguan keseimbangan.
Penyakit Parkinson, gangguan neurodegeneratif paling umum kedua setelah Alzheimer, mempengaruhi lebih dari 10 juta orang di seluruh dunia, dengan prevalensi meningkat seiring bertambahnya usia populasi. Di Indonesia, prevalensi Parkinson diperkirakan berkisar antara 100 hingga 200 kasus per 100.000 orang, dengan peningkatan kasus seiring bertambahnya populasi lanjut usia. Saat ini, Parkinson tetap menjadi tantangan besar dalam bidang kesehatan, terutama dengan populasi global yang semakin tua.
Diagnosis penyakit Parkinson didasarkan pada sejumlah faktor, termasuk anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik, dan penilaian gejala klinis oleh dokter. Anamnesis yang detail tentang informasi tentang riwayat kesehatan pasien, termasuk gejala yang dialami, sejarah keluarga, dan riwayat penggunaan obat-obatan dilakukan menegakkan diagnosis. Setelah itu, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik yang teliti, termasuk pemeriksaan neurologis untuk mencari tanda-tanda khas Parkinson seperti tremor, kekakuan, bradykinesia, dan gangguan postur. Selain gejala motorik tersebut, penyakit Parkinson juga dapat menyebabkan sejumlah gejala non-motorik, seperti gangguan tidur, masalah pencernaan, gangguan kognitif, dan gangguan mood seperti depresi dan kecemasan.
Meskipun tidak ada tes laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis Parkinson, beberapa pemeriksaan penunjang mungkin diperlukan untuk membantu memastikan diagnosis, mengecualikan penyebab lain yang mungkin memiliki gejala serupa, atau mengevaluasi tingkat progresivitas penyakit. Tes Pencitraan Otak seperti CT Scan (Computed Tomography Scan) atau MRI (Magnetic Resonance Imaging) dapat dilakukan mengevaluasi struktur otak dan mengecualikan kemungkinan penyebab gejala non-Parkinson lainnya. Pemeriksaan fungsi kognitif dpat dilakukan untuk mengevaluasi gangguan memori atau eksekutif pada penderita Parkinson. Meski sangat jarang dilakukan karena kendala biaya, tes genetik digunakan mengidentifikasi mutasi genetik yang terkait dengan Parkinson, terutama dalam kasus penyakit Parkinson familial.
Penyakit Parkinson adalah gangguan neurodegeneratif progresif yang terutama mempengaruhi sistem motorik. Penyakit ini disebabkan oleh degenerasi neuron dopaminergik di substansia nigra, suatu area di otak tengah yang berperan penting dalam kontrol gerakan. Kehilangan neuron ini menyebabkan penurunan kadar dopamin di otak, neurotransmitter yang penting untuk mengatur gerakan dan koordinasi tubuh. Dengan berkurangnya dopamin, aktivitas jalur nigrostriatal yang menghubungkan substansia nigra ke striatum terganggu. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan antara sistem dopaminergik dan sistem kolinergik dalam ganglia basalis, yang mengakibatkan gangguan dalam koordinasi dan eksekusi gerakan. Secara klinis, hal ini memanifestasikan diri dalam gejala utama penyakit Parkinson, yaitu tremor istirahat, kekakuan otot (rigiditas), bradikinesia (perlambatan gerakan), dan instabilitas postural. Apabila terjadi penyebaran patologi di luar substansia nigra ke area otak lain, termasuk sistem limbik dan korteks, akan menyebabkan gejala non-motorik seperti gangguan tidur, disfungsi otonom, depresi, dan gangguan kognitif.
Terapi medikamentosa untuk penyakit Parkinson berfokus pada pengelolaan gejala, terutama melalui penggantian atau peningkatan kadar dopamin di otak. Terapi utama yang paling umum digunakan adalah levodopa, prekursor dopamin yang dapat menembus sawar darah-otak dan diubah menjadi dopamin di otak. Levodopa biasanya dikombinasikan dengan carbidopa atau benserazide untuk menghambat konversi levodopa menjadi dopamin di luar otak, sehingga meningkatkan ketersediaan levodopa di otak dan mengurangi efek samping perifer seperti mual dan muntah. Selain levodopa dan agonis dopamin, inhibitor monoamine oxidase-B (MAO-B) seperti selegilin dan rasagilin juga digunakan dalam terapi Parkinson. Obat-obatan ini bekerja dengan menghambat enzim MAO-B yang memecah dopamin di otak, sehingga meningkatkan kadar dopamin dan memperlambat penurunan motorik. Inhibitor COMT (catechol-O-methyltransferase) seperti entakapon dan tolkapon juga digunakan untuk memperpanjang efek levodopa dengan menghambat metabolisme levodopa di tubuh.
Terapi non-medikamentosa untuk penyakit Parkinson melibatkan pendekatan multidisiplin yang menggabungkan berbagai intervensi untuk mengelola gejala dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Pendekatan ini berfokus pada mempertahankan kemandirian, meningkatkan mobilitas dan komunikasi, serta menyediakan dukungan emosional yang diperlukan untuk menghadapi tantangan penyakit Parkinson.
Fisioterapi adalah salah satu komponen utama dari terapi non-medikamentosa. Melalui latihan yang dirancang khusus, fisioterapis membantu pasien meningkatkan mobilitas, keseimbangan, dan kekuatan otot. Program latihan yang teratur dapat membantu mengurangi kekakuan otot dan bradikinesia (perlambatan gerakan), serta meningkatkan fleksibilitas dan postur. Terapis okupasi mengajarkan strategi untuk mengatasi tantangan dalam menjalani aktivitas seperti berpakaian, makan, dan menulis. Alat bantu adaptif dan modifikasi lingkungan rumah dapat membantu pasien menjalani kehidupan sehari-hari dengan lebih mudah dan aman. Terapis bicara dapat membantu meningkatkan volume suara, kejelasan bicara, dan menelan. Teknik seperti latihan vokal intensif dan stimulasi bicara dapat membantu pasien mempertahankan kemampuan komunikasi mereka.
Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) adalah teknik stimulasi otak non-invasif yang menggunakan medan magnet untuk merangsang neuron di otak. TMS berfungsi dengan menghasilkan impuls magnetik yang dapat menembus tengkorak dan mempengaruhi aktivitas sel-sel saraf di area tertentu dari otak yang terkait dengan kontrol motorik dan gejala Parkinson. Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (rTMS) adalah variasi dari TMS yang melibatkan pemberian rangkaian impuls magnetik secara berulang ke area otak yang ditargetkan. Beberapa studi menunjukkan bahwa rTMS dapat membantu mengurangi tremor, kekakuan, dan bradikinesia, serta meningkatkan kualitas hidup pasien.
Theta Burst Stimulation (TBS) adalah teknik stimulasi otak yang lebih baru dan lebih cepat dibandingkan dengan rTMS. TBS menggunakan pola impuls yang lebih cepat dan intens untuk merangsang otak. Terdapat dua jenis utama TBS: continuous theta burst stimulation (cTBS) dan intermittent theta burst stimulation (iTBS). TBS telah menunjukkan potensi dalam mengurangi gejala motorik Parkinson dengan lebih efisien dan durasi terapi yang lebih singkat dibandingkan rTMS tradisional.Electric stimulation atau stimulasi listrik, termasuk Transcutan Electric Nerve Stimulation (TENS) dan Deep Brain Stimulation (DBS), adalah metode lain yang digunakan dalam terapi Parkinson. TENS melibatkan aplikasi arus listrik ringan melalui elektroda yang ditempatkan di kulit untuk merangsang saraf dan otot. Ini dapat membantu mengurangi nyeri dan kekakuan otot. Sementara itu, DBS adalah prosedur yang lebih invasif di mana elektroda ditanamkan di otak dan dihubungkan ke alat pacu yang ditanamkan di dada. DBS telah terbukti sangat efektif dalam mengurangi gejala motorik pada pasien Parkinson yang tidak merespons dengan baik terhadap obat.
Tantangan utama yang dihadapi pasien Parkinson adalah diagnosis awal, karena gejala awal sering kali ringan dan bisa dianggap sebagai tanda penuaan. Diagnosis biasanya dilakukan oleh ahli saraf berdasarkan gejala klinis, karena tidak ada tes darah atau pencitraan spesifik yang dapat mengonfirmasi penyakit ini. Manajemen penyakit Parkinson juga kompleks. Levodopa, obat utama untuk Parkinson, efektif pada awalnya tetapi penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan efek samping seperti fluktuasi motorik dan diskinesia. Selain tantangan medikamentosa, pasien juga menghadapi gejala non-motorik seperti gangguan tidur, depresi, kecemasan, sembelit, disfungsi otonom, dan penurunan kognitif, yang semuanya memerlukan pendekatan manajemen yang holistik.Gangguan kognitif dan demensia pada tahap lanjut penyakit menambah beban pasien dan keluarga, mempengaruhi kemampuan berpikir dan membuat keputusan. Tantangan finansial juga signifikan, dengan biaya pengobatan, terapi, perawatan jangka panjang, dan modifikasi rumah yang dapat sangat membebani pasien dan keluarganya.
Parkinson merupakan gangguan neurodegeneratif yang mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia. Meskipun telah terjadi kemajuan dalam pengelolaannya, tantangan tetap ada, mulai dari diagnosis awal hingga manajemen jangka panjang yang holistik. Dukungan sosial, pengembangan terapi yang lebih efektif, dan advokasi kebijakan kesehatan yang lebih baik penting untuk meningkatkan kualitas hidup pasien Parkinson dan keluarga mereka. Dengan pendekatan multidisiplin, kita dapat menjelajahi labirin Parkinson dengan lebih baik dan meningkatkan kesejahteraan mereka yang terkena dampaknya.
- Poewe, W., Seppi, K., Tanner, C. M., Halliday, G. M., Brundin, P., Volkmann, J., … & Goetz, C. G. (2017). Parkinson disease. *Nature Reviews Disease Primers*, 3(1), 1-21.
- Armstrong, M. J., Okun, M. S., & Tang-Wai, D. F. (2020). Diagnosis and treatment of Parkinson disease: A review. *JAMA*, 323(6), 548-560.
- Wirdefeldt, K., Adami, H. O., Cole, P., Trichopoulos, D., & Mandel, J. (2011). Epidemiology and etiology of Parkinson’s disease: A review of the evidence. *European Journal of Epidemiology*, 26(Suppl 1), S1-S58.