Oleh: dr. Dyahlokita Swastyastu, M.Med.Sc., Sp. D.V.E
Monkeypox atau yang saat ini dikenal dengan Mpox merupakan infeksi virus zoonosis yang disebabkan oleh virus Monkeypox (MPXV), anggota dari genus Orthopoxvirus. Penyakit ini pertama kali diidentifikasi pada monyet pada tahun 1958 di Denmark, dengan kasus pertama pada manusia dilaporkan pada tahun 1970 di Republik Demokratik Kongo. Setelah kasus pertama muncul infeksi ini tersebar secara endemis terutama di negara Afrika Barat dan Afrika Tengah. Sejak Mei 2022 Republik Demokratik Kongo menjadi negara yang melaporkan jumlah kasus suspek Mpox terbanyak, yaitu 1.284 kasus dengan 58 kematian. Selain peningkatan jumlah kasus Mpox ini juga tersebar secara sporadis di negara-negara non-endemis, seperti Inggris, Amerika Serikat, Israel, dan Singapura (Mitjà et al., 2023). Sejak itu, kasus Mpox telah menjadi perhatian global dan WHO terus menerima laporan kasus inidari negara-negara non-endemis. Berdasarkan data WHO hingga Juni 2024 telah dilaporkan sebanyak 99.178 kasus konfirmasi Mpox dari 116 negara dengan 208 kematian (World Health Organization, 2024).
Secara global dari data WHO menyatakan bahwa sebanyak 96,4% kasus Mpox ditemukan pada laki-laki dengan usia rerata 34 tahun. Beberapa temuan kunci lainnya menyebutkan sekitar 85,8% terjadi pada kelompok laki-laki yang berhubungan seksual dengan sesama jenis (LSL). Indonesia melaporkan kasus Mpox pertama pada 20 Agustus 2022. Jumlah kasus kumulatif hingga Agustus 2024 dilaporkan sebanyak 88 kasus yang ditemukan di DKI Jakarta, Banten, Jawab Barat, DIY, Jawa Timur dan Kepulauan Riau (Mitjà et al., 2023; Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2024).
Mpox dapat ditularkan ke manusia sehat melalui kontak langsung dari hewan atau manusia yang sudah terinfeksi. Jalur penularannya dapat melalui kontak kulit (bahkan luka kecil yang tidak terlihat), saluran pernafasan, selaput lendir (mata, hidung, atau mulut) atau benda-benda yang telah terkontaminasi (pakaian, handuk, dan peralatan makan). Kontak kulit langsung dengan lesi kulit (ruam kemerahan ataupun koreng) dan cairan tubuh (nanah atau darah) umumnya sangat menular. Penularan melalui droplet pernapasan membutuhkan kontak erat yang lama sehingga individu yang tinggal serumah berisiko besar untuk tertular (Ferdous et al., 2023; Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2023). Sejak wabah pada tahun 2022, penularan utama banyak ditemukan melalui kontak langsung dengan luka infeksius, terutama pada bagian tubuh seperti membran mukosa (mulut) atau genital, salah satunya melalui hubungan seksual (berciuman, sentuhan, seks oral atau penetrasi) (Mitjà et al., 2023).
Gejala Mpox biasanya memiliki masa inkubasi sekitar 6 hingga 13 hari, namun dapat pula berkisar 5 hingga 21 hari setelah paparan. Gejala awal menyerupai gejala flu, termasuk demam, sakit kepala, nyeri otot, dan lemas (Mitjà et al., 2023). Inflamasi atau pembesaran kelenjar getah bening (limfadenopati) merupakan gejala khas yang membedakan Mpox dari penyakit lain yang mirip, seperti cacar air (Varisela). Gejala awal (prodromal) biasanya berlangsung selama 1-4 hari. Sekitar 1-3 hari setelah demam, muncul ruam berupa bintik atau bintil yang sering mengalami umbilikasi (cekungan di tengah ruam) kemudian berkembang menjadi luka dengan mengeluarkan cairan yang akhirnya mengeras dan membentuk koreng, yang akan rontok dalam waktu 2-8 minggu (Wang and Lun, 2023).
Meskipun sebagian besar kasus Mpox bersifat ringan, penyakit ini bisa berbahaya, terutama bagi anak-anak, orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, dan wanita hamil. Komplikasi yang mungkin terjadi meliputi infeksi bakteri sekunder, bronkopneumonia, sepsis, ensefalitis, dan infeksi mata yang bisa menyebabkan kebutaan. Tingkat kematian kasus Mpox bervariasi dari 1% hingga 12% pada beberapa kasus, tergantung pada strain virus dan kesehatan pasien (Mitjà et al., 2023). Secara klinis, ruam Mpox dapat menyerupai penyakit kulit lainnya, seperti cacar air (varisela/chickenpox) dan campak (measles). Gambaran klinis khas Mpox yang membedakan dengan penyakit cacar lainnya adalah ditemukannya pembesaran kelenjar getah bening (limfadenopati) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2023).
Tabel Perbedaan Manifestasi Klinis Mpox dengan Cacar Air dan Campak
Gejala Klinis | Mpox | Cacar air (Varisela/chickenpox) | Campak (measles) |
Demam | Demam >38oC, ruam setelah 1-3 hari | Demam hingga 39oC, ruam setelah 0-2 hari | Demam tinggi hingga 40,5oC, ruam setelah 2-4 hari |
Penampakan ruam | Makula, papula, vesikel, pustula. Jenis ruam sama pada setiap fase di semua area tubuh | Makula, papula, vesikel. Ada di berbagai fase | Ruam non vesikel pada berbagai fase |
Perkembangan ruam | Lambat, 3-4 minggu | Cepat, tampak crops selama beberapa hari | Cepat, 5-7 hari |
Distribusi ruam | Dimulai di kepala, lebih padat di wajah dan anggota badan; muncul di telapak tangan dan telapak kaki | Mulai di kepala; lebih padat di tubuh; tidak ada di telapak tangan dan telapak kaki | Mulai di kepala dan menyebar; dapat mencapai tangan dan kaki |
Penampakan khas | Limfadenopati | Ruam gatal | Koplik spots bervariasi |
Kematian | 3-6% | Jarang | Bervariasi |
Pemeriksaan penunjang untuk mengonfirmasi kasus Mpox dapat menggunakan uji Polymerase Chain Reaction (PCR) dan/atau sekuensing. Saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk Mpox. Perawatan untuk kasus ini bersifat suportif dan ditujukan untuk meringankan gejala serta mencegah komplikasi. Manajemen suportif antara lain untuk kondisi demam/nyeri dapat diberikan antipiretik, gatal dapat diberikan antihistamin, mual/muntah dapat diberikan antiemetik, dan diare dapat ditangani dengan rehidrasi. Beberapa obat antivirus, seperti Tecovirimat (lini pertama), Cidofovir dan Brincidofovir (lini kedua), berpotensi digunakan dalam pengobatan Mpox, meskipun penggunaanya masih terbatas dan terus dipantau efektivitasnya (Ferdous et al., 2023; Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2023).
Pencegah Mpox antara lain dengan menghindari kontak dengan hewan terinfeksi dan benda yang telah terkontaminasi, melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan mencuci tangan dan menggunakan alat pelindung diri (APD) saat merawat pasien terinfeksi. Di daerah non-endemis, penting untuk mengisolasi individu yang terinfeksi atau dicurigai, ikuti pedoman pencegahan infeksi untuk pasien dan tenaga kesehatan, menghindari keramaian jika bergejala, jaga kebersihan diri, dan praktikkan seks yang aman. Vaksin cacar/smallpox telah terbukti memberikan perlindungan terhadap mpox, dan dapat digunakan untuk pencegahan di daerah wabah, namun masih terbatas untuk kelompok rentan, seperti tenaga kesehatan, LSL, dan OD-HIV (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2023; Mitjà et al., 2023).
REFERENSI
Ferdous, J. et al. (2023) ‘A review on monkeypox virus outbreak: New challenge for world’, Health Science Reports, 6(1). Available at: https://doi.org/10.1002/hsr2.1007.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2023) Pedoman Pencegahan dan Pengendalian MPOX (Monkeypox). Jakarta: Kemenkes.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2024a) 88 Kasus Konfirmasi Mpox di Indonesia, Seksual Sesama Jenis Jadi Salah Satu Penyebab, Kemenkes.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2024b) Surat Edaran Kemenkes 2024. Jakarta. Available at: https://www.p2p.kemkes.go.id.
Mitjà, O. et al. (2023) ‘Monkeypox’, The Lancet. Elsevier B.V., pp. 60–74. Available at: https://doi.org/10.1016/S0140-6736(22)02075-X.
Schmidle, P. et al. (2023) ‘Lives of Skin Lesions in Monkeypox: Histomorphological, Immunohistochemical, and Clinical Correlations in a Small Case Series’, Viruses, 15(8). Available at: https://doi.org/10.3390/v15081748.
Titanji, B.K. et al. (2022) ‘Monkeypox: A Contemporary Review for Healthcare Professionals’, Open Forum Infectious Diseases. Oxford University Press. Available at: https://doi.org/10.1093/ofid/ofac310.
Wang, X. and Lun, W. (2023) ‘Skin Manifestation of Human Monkeypox’, Journal of Clinical Medicine. MDPI. Available at: https://doi.org/10.3390/jcm12030914. World Health Organization (2024) Multi-country outbreak of mpox.