Oleh: dr. Ahmad Fikri Syadzali, Sp.P | Editor: dr. Astari Pranindya Sari, Sp.P
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah salah satu dari tiga penyebab kematian di dunia dan sekitar 90% terjadi di negara dengan pendapatan menengah kebawah. Pada tahun 2012, sebanyak 3 juta orang meninggal dunia karena PPOK.
PPOK adalah penyakit paru yang ditandai dengan adanya keterbatasan aliran udara yang persisten dan umumnya progresif. PPOK memiliki gejala respiratori kronik ( sesak, batuk, dahak dan/ eksaserbasi) karena kelainan pada saluran napas (bronchitis, bronkiolitis) dan/atau alveoli (emfisema). PPOK sering timbul pada usia pertengahan akibat merokok dalam waktu yang lama. PPOK disebabkan karena interaksi gen dan lingkungan yang terjadi selama hidup setiap individu yang dapat merusak paru atau menggangu perkembangan paru.
Faktor risiko PPOK:
- Perokok
Merokok adalah penyebab utama terjadi PPOK. Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok (Indeks Brinkman). Tidak semua perokok menjadi PPOK, karena factor risiko genetic mempengaruhi setiap individu
- Polusi Udara
Berbagai macam pertikel dan gas yang terdapat di udara dapat menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Kayu, serbuk gergaji, batubara dan minyak tanah (bahan bakar kompor) menjadi penyebab tertinggi polusi di dalam ruangan
- Infeksi Saluran Napas Bawah Berulang
Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas dan dapat menimbulkan eksaserbasi.
- Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi sebagai factor risiko terjadinya PPOK belum dapat dijelaskan secara pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan, pemukiman padat, nutrisi buruk dan faktor lain yang berhubungan dengan status sosial ekonomi, kemungkinan dapat menjelaskan hal ini.
- Tumbuh Kembang Paru
Pertumbuhan paru berhubungan dengan proses selama hamil, kelahiran dan pajanan saat kecil. Studi metanalisi menyatakan bahwat berat lahir mempengaruhi fungsi paru (nilai VEP1) pada masa anak.
- Genetik
Faktor risiko genetic yang paling sering terjadi adalah mutasi gen Serpina-1 yang mengakibatkan kekurangan α-1 antitripsin sebagai inhibitor dari protease serin.
- Jenis Kelamin
Penelitian terdahulu menyatakan bahwa angka kesakitan dan kematian akibat PPOK lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan, namun saat ini angka kejadian PPOK hamper sama antara laki-laki dan perempuan, terkait dengan bertambahnya jumlah perokok perempuan
(Gambar: https://doi.org/10.1016/j.jsps.2021.10.008, Alfahad, 2021)
Sebagian besar PPOK disebabkan oleh inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya yang dapat merusak jaringan paru. Struktur paru terdiri dari tubulus yang disebut pohon bronkus yang berakhir dengan kantung alveolar. Masuknya molekul asing dapat menyebabkan respon inflamasi abnormal yang menyebabkan kontraksi otot polos, hipertrofi kelenjar mukus, dan edema mukosa. Akibatnya, terjadi bronkitis kronis dan gejalanya seperti peningkatan ketebalan dinding saluran napas, hipersekresi mukus, disfungsi silia, dan penyempitan bronkus. Kondisi PPOK lainnya adalah emfisema. ketika molekul iritan dan oksidatif mencapai sel epitel alveolar (AEC), mereka memulai respon imun bawaan dan adaptif. Sebagai mekanisme pertahanan, sel epitel alveolar mengeluarkan sitokin, kemokin, dan faktor lain untuk mengatur sistem kekebalan. Makrofag alveolar juga melepaskan protease destruktif seperti elastase dan matriks metalloproteinase (MMPs) sebagai respons terhadap peradangan. Ketidakseimbangan aktivitas protease dan apoptosis pada akhirnya menyebabkan rusaknya struktur alveoli. Selain itu, pengendapan kolagen yang menyertai proses perbaikan memperburuk kondisi karena alveoli kehilangan sifat elastisnya.
Diagnosis PPOK harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami dispnea (sesak), batuk kronis atau produksi sputum, dan/atau riwayat pajanan faktor risiko penyakit. Diagnosis PPOK ditegakkan dengan spirometri yang menunjukkan FEV1/FVC pasca bronkodilator < 0,7.
GEJALA | KETERANGAN |
Sesak | Progresif
Bertambah berat dengan aktivitas Menetap sepanjang hari Berat, skuar bernapas, terengah-engah |
Batuk Kronik | Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak |
Batuk Kronik Berdahak | Setiap Batuk kronik berdahak dapat mengindikasikan PPOK |
Riwayat terpajan faktor risiko | Asap rokok
Debu dan bahan kimia ditampat kerja Asap dapur |
Riwayat keluarga menderita PPOK |
Beberapa penyakit paru atau di luar paru bisa memberikan gambaran menyerupai PPOK. Seperti: Asma, gagal jantung kongestif, bronkiektasis, tuberculosis, bronkiolitis obliterans, panbronkiolitis diffuse. Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di Indonesia.
Pasien PPOK memiliki derajat keparahan. Derajat keparahan dari hambatan saluran napas (airflow obstruction) dilihat dari nilai FEV1 pasca bronkodilator.
Pasien PPOK (FEV1/KVP < 0.7 pasca bronkodilator) | ||
GOLD 1 | Ringan | FEV1 ≥ 80% prediksi |
GOLD 2 | Sedang | 50 ≤ FEV1 < 80% prediksi |
GOLD 3 | Berat | 30 ≤ FEV1 < 50% prediksi |
GOLD 4 | Sangat berat | FEV1 < 30% prediksi |
Pengobatan pasien PPOK meliputi berbagai macam cara. Tujuan pengobatan/penatalaksanaan pada pasien PPOK stabil adalah mengurangi gejala, memperbaiki toleransi latihan, memperbaiki kualitas hidup, mencegah progresifitas penyakit, mencagah dan mengobati eksaserbasi, dan mengurangi kematian. Salah satu tatalaksana PPOK adalah dengan edukasi yang diberikan sejak ditentukan diagnosis nya. Secara umum, edukasi yang diberikan berupa pengetahuan dasar tentang PPOK, obat-obatan (manfaat dan efek samping, cara pencegahan, menghindari pencetus dan penyesuaian aktivitas. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru.
Berhenti merokok merupakan intevensi yang paling efektif dalam megurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas penyakit. Delapan juta orang meninggal akibat rokok setiap tahunnya, termasuk 1,3 juta perokok pasif. Di Indonsesia terdapat 69,1 juta perokok pada tahun 2021. Kandungan rokok salah satunya adalah zat-zat radikal dan oksidatif yang dapat menyebabkan peradangan kronik. Selain berhenti merokok, penatalaksanaan non farmakologi yang dapat dilakukan adalah rehabilitasi paru, latihan fisik dan vaksinasi.
Terapi farmakologis PPOK digunakan untuk mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan keparahan eksaserbasi, serta meningkatkan toleransi olahraga dan status kesehatan. Uji klinis individual belum cukup meyakinkan untuk menunjukkan bahwa farmakoterapi dapat mengurangi laju penurunan fungsi paru (FEV1). Pilihan dalam setiap pengobatan bergantung pada ketersediaan dan biaya pengobatan serta respons klinis yang seimbang terhadap efek samping. Setiap rejimen pengobatan perlu disesuaikan secara individual karena hubungan antara tingkat keparahan gejala, obstruksi aliran udara, dan tingkat keparahan eksaserbasi dapat berbeda antar pasien.
Obat-obatan
Bronkodilator adalah obat yang meningkatkan fungsi paru (FEV1) dan/atau mengubah variabel spirometri lainnya. Bronkodilator bekerja dengan mengubah tonus otot polos saluran napas dan peningkatan aliran ekspirasi. Bronkodilator cenderung mengurangi hiperinflasi dinamis saat istirahat dan selama berolahraga, dan meningkatkan kinerja latihan.
- Golongan Agonis β-2
Golongan Agonis β-2 kerja singkat bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak. Kerja utama agonis β-2 adalah merelaksasi otot polos saluran napas dengan menstimulasi reseptor β-2 -adrenergik, yang meningkatkan siklik AMP dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokonstriksi. Golongan antimuskarinik
Obat antimuskarinik memblokir efek bronkokonstriktor asetilkolin pada reseptor muskarinik M3 yang diekspresikan di otot polos saluran napas.
- Kombinasi antimuskarinik dan Agonis β-2
- Golongan Xantin
Daftar Pustaka
Alfahad, A. J., Alzaydi, M. M., Aldossary, A. M., Alshehri, A. A., Almughem, F. A., Zaidan, N. M., & Tawfik, E. A. (2021). Current views in chronic obstructive pulmonary disease pathogenesis and Management. Saudi Pharmaceutical Journal, 29(12), 1361–1373. https://doi.org/10.1016/j.jsps.2021.10.008
Geake JB, Dabscheck EJ, Wood-Baker R, Cates CJ. Indacaterol, a once-daily beta2-agonist, versus twice-daily beta(2)- agonists or placebo for chronic obstructive pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev 2015;
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease 2023 Report: GOLD Executive Summary. Eur Respir J. 2023 Apr 1;61(4):2300239. doi: 10.1183/13993003.00239-2023
Karner C, Chong J, Poole P. Tiotropium versus placebo for chronic obstructive pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev 2014
Melani AS. Long-acting muscarinic antagonists. Expert Rev Clin Pharmacol 2015;
PDPI. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik): Diagnosis dan. Penatalaksanaan. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI); 2016
Sestini P, Renzoni E, Robinson S, Poole P, Ram FS. Short-acting beta 2 agonists for stable chronic obstructive pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev 2002;
Vij N., P. Chandramani-Shivalingappa, C. Van Westphal, R. Hole, M. Bodas. Cigarette smoke-induced autophagy impairment accelerates lung aging, COPD-emphysema exacerbations and pathogenesis. Am. J. Physiol. Cell Physiol., 314 (2018)
Wang, J. Xu, Y. Meng, I.M. Adcock, X. Yao Role of inflammatory cells in airway remodeling in COPD Int. J. Chronic Obstructive Pulmonary Dis., 13 (2018), pp. 3341-3348
WHO, WHO highlights huge scale of tobacco-related lung disease deaths. World Health Organization, 2019.