Fenomena tentang stigma selama pandemi COVID-19
Pandemi COVID-19 merupakan kejadian luar biasa yang telah berlangsung selama hampir 1,5 tahun (Maret 2020-Oktober 2021). Selama periode ini, sudah begitu banyak perubahan yang terjadi dalam tatanan hidup masyarakat. Mulai dari masalah ekonomi, kesehatan, dan sosial yang sebagian besar disebabkan oleh aturan baru, berupa social distancing dan isolasi berskala besar yang bertujuan untuk memutus penyebaran penyakit. Kondisi seperti ini tentunya menimbulkan berbagai emosi negatif, seperti rasa takut, cemas, sedih, dan lain-lain. Ditambah lagi dengan pemberitaan melalui berbagai media seperti televisi dan sosial media yang terus mengekspos informasi atau cerita-cerita yang seringkali meningkatkan kekhawatiran. Rasa takut dan khawatir akan COVID-19 ini memunculkan isu sosial baru, yaitu stigma negatif kepada kelompok orang yang terkait dengan virus, seperti pasien, penyintas, dan para tenaga kesehatan.
Menurut definisi dari kamus American Psychological Association (n.d.), stigma adalah sikap sosial negatif yang melekat kepada karakteristik seorang individu yang dinilai mempunyai masalah mental, fisik, atau sosial. Stigma juga merupakan bentuk dari penolakan sosial yang bisa berujung pada diskriminasi dan pengucilan. Definisi dari stigma ini, sudah tampak nyata dalam lingkungan di sekitar kita. Kekerasan massal terhadap pasien COVID-19 yang berujung kematian, intimidasi dan perundungan kepada para penyintas, serta penganiayaan kepada tenaga kesehatan. Hal-hal ini benar terjadi dan bahkan terus berulang dalam masa pandemi. Pasien, penyintas, dan tenaga kesehatan adalah kelompok-kelompok rentan selama pandemi COVID-19 yang seharusnya kita dukung bersama, namun yang terjadi adalah sebaliknya.
Permasalahan stigma negatif terhadap kelompok rentan merupakan masalah yang sangat serius. Bahkan dari tahun lalu, pemerintah sudah menghimbau masyarakat terkait dengan stigma ini. Perwakilan dari gugus tugas penanganan COVID-19 sendiri yang menyatakan bahwa stigma negatif memperburuk tingkat kesembuhan dan berkontribusi terhadap tingginya angka kematian (COVID-19, n.d.). Hal ini dikarenakan menurunnya imunitas pasien yang sangat penting dalam proses penyembuhan. Masyarakat umum juga menjadi lebih tertutup dalam melaporkan riwayat kontak erat dan enggan untuk memeriksakan diri ketika gejala awal sudah muncul. Kondisi ini tentu menyulitkan proses tracing dan memperparah jumlah kasus di masyarakat.
Penjelasan teoritis mengapa stigma bisa terbangun
Pertanyaan mendasar yang kemudian muncul adalah: bagaimana stigma negatif ini dapat terbentuk? Untuk menjawab pertanyaan ini, berbagai ahli telah mencoba mencari tahu penyebab munculnya stigma. Salah satu pendapat menjelaskan fungsi mendasar dari stigma sebagai impuls seseorang dalam menghadapi ancaman, baik yang nyata maupun simbolis. Ancaman yang nyata akan memberikan dampak secara materi dan hal-hal yang konkret, sedangkan ancaman simbolis menyasar pada keyakinan, nilai, ideologi, dan lain sebagainya (Heatherton, 2003). Link beserta Phelan (2001) menjelaskan stigma sebagai fenomena sosial yang terdiri dari 4 proses dimana ke- empat proses ini dapat terjadi di dalam waktu yang bersamaan, yaitu (1) memberikan label-label terhadap perbedaan yang ada, (2) terbentuknya stereotip, (3) memisahkan yang tidak termasuk di label “kami”, dan (4) terjadi kehilangan status atau diskriminasi terhadap kelompok yang diberi stigma.
Kelompok-kelompok rentan yang menjadi sasaran stigma negatif selama pandemi seperti para pasien, para penyintas, dan para tenaga kesehatan dinilai sebagai ancaman oleh masyarakat umum. Ancaman nyata yang kemungkinan memberikan dampak negatif pada kesehatan individu karena kelompok-kelompok ini dianggap dapat menularkan virus korona. Mulai terbentuk label yang berbeda antara “kita” dan “mereka”, dimana label “mereka” disertai penilaian negatif atau stereotip.Kelompok yang terstigmatisasi ini kehilangan status sosial dan mendapat diskriminasi.
Contohnya, para tenaga kesehatan yang sebelumnya dihargai dan dinilai positif, tapi saat ini dianggap berisiko menyebarkan virus sehingga mendapat penolakan atau bahkan kekerasan dari masyarakat. Begitu pula yang dialami oleh para pasien dan para penyintas. Mereka dianggap sebagai ancaman bagi orang-orang yang belum terdampak COVID-19 sehingga sudah menempel penilaian yang buruk. Hal ini berujung pada perlakuan diskriminasi dan intimidasi kepada para pasien dan penyintas.
Dampak negatif dari stigma
Secara umum, stigma menyebabkan kelompok terdampak mengalami keterbatasan dalam beberapa aspek hidup, sehingga mempengaruhi status sosial, kesejahteraaan (well-being) sekaligus kesehatan fisik (Major & O’Brien, 2005). Stigma dapat mempengaruhi persepsi diri, kesehatan mental, merusak hubungan sosial, hingga berefek terhadap kohesivitas masyarakat dan bagaimana individu saling berinteraksi satu sama lain (Singh, dkk., 2020). Berikut pembahasan lebih lanjut mengenai dampak-dampak negatif dari stigma:
- Muncul rasa malu, tidak memiliki harapan, bahkan stres, kecemasan, depresi, tidak berdaya (Peprah & Gyasi 2020). Selain itu, merasa takut disalahkan dan dikucilkan, serta harus dipisahkan dari keluarga (Kumar & Nayar, 2020).
- Menjadi tertutup bahkan menarik diri dari interaksi dengan lingkungan sosial.
- Kecemasan dan kekhawatiran stigma menyebabkan keraguan untuk meminta bantuan kepada orang terdekat, tenaga professional, atau layanan kesehatan (Sotgiu & Dobler, 2020).
- Stigma menyebabkan keengganan pengetesan COVID-19 karena beban stigma yang harus diemban ketika hasilnya positif (Sotgiu & Dobler, 2020). Alhasil, tracing penyebaran sulit dideteksi dan pencegahan penularan tertunda.
- Ramaci, dkk. (2020) menemukan bahwa stigma pada tenaga kesehatan COVID-19 mempengaruhi kinerja, yaitu meningkatkan kelelahan dan burnout serta menurunkan kepuasan kerja.
- Penolakan sosial terhadap etnis tertentu, pekerja migran (berpindah tempat), pekerja sosial, bahkan keengganan mengebumikan pasien COVID-19 ketika awal pandemi di Indonesia (Abdullah, 2020). Abdullah (2020) selanjutnya menyatakan bahwa stigma atau ketakutan terhadap COVID-19 dapat menyebabkan masyarakat melakukan perilaku yang tidak manusiawi.
Cara untuk menghilangkan/mengubah stigma
Stigma terhadap COVID-19 dapat kita hilangkan dengan cara meningkatkan empati sosial. Pada empati sosial, seseorang akan digambarkan memiliki kemampuan dalam memahami orang lain, merasakan, memahami situasi dari mereka yang pernah terpapar COVID-19, bagaimana perjuangannya, dan masalah yang dihadapi. Dalam sikap empati sosial, kita akan belajar mengenai latar belakang, hambatan, dan berbagai dukungan terhadap persoalan para penyintas tersebut serta turut merasakan seperti apa rasanya berada dalam posisi mereka. Untuk sampai pada kondisi ini, maka pengetahuan menjadi faktor penting dalam mengubah stigma. Ada berbagai cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan empati sosial tersebut, yaitu:
- Kepedulian. Membiasakan memberi bantuan pada masyarakat yang terdampak COVID-19, seperti berdonasi atau dukungan untuk bertahan hidup dan memfasilitasi perawatan medis yang dibutuhkan, termasuk melakukan berbagai kegiatan sosial dari lingkungan kita masing masing.
- Berbagi informasi positif mengenai perkembangan baik berbasis fakta dan data mengenai COVID-19 untuk mengurangi stigma di masyarakat.
- Bijaksana menyeleksi berita negatif dan berhati-hati menggunakan istilah atau kata yang menimbulkan stigma, misalnya: kata-kata “korban”, “menularkan”, “menginfeksi”, yang seolah-olah akan mendiskriminasi orang-orang tertentu.
- Mengendalikan pikiran negatif yang diperoleh dari konten media sosial yang berisi hal-hal yang mengancam atau menekan.
- Memberi dukungan pada orang yang terstigma dengan menyatakan penerimaan pada mereka termasuk memberi ruang kepada mereka untuk dapat kembali ke masyarakat tanpa rasa takut.
- Mendengar pengalaman dari para penyintas untuk memberikan gambaran bagaimana perjuangan dan usaha mereka sembuh dari COVID-19, sehingga menumbuhkan sikap “turut merasakan”.
Upaya mengurangi stigma COVID-19 sebenarnya memerlukan pendekatan komprehensif, tetapi semuanya dapat dimulai dari level individu. Gronholm, dkk.(2021) menyarankan individu dapat memulai dengan menggunakan bahasa yang tidak mencerminkan stigmatisasi. Usaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang COVID-19 dan kelompok terdampak juga penting untuk dilakukan (Baldassarre, dkk. 2020). Selain itu, individu juga dapat menjadi agen perubahan dengan upaya-upaya yang telah disebutkan di atas. Di saat yang bersamaan, pendekatan yang lebih luas seperti media massa yang merepresentasikan kampanye anti stigma dan bebas hoax, serta intervensi dengan pendekatan masyarakat yang berbasis edukasi dan kebijakan untuk mitigasi stigma (Gronholm, dkk., 2021) sangat direkomendasikan.
Saran untuk kelompok rentan yang mendapatkan stigma
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, stigma COVID-19 dapat menimbulkan efek negatif bagi kelompok yang terdampak, terutama dari segi kesejahteraan mental. Konsekuensi terkecil dari stigma COVID-19 adalah timbulnya stres, ketakutan, atau kecemasan. Stimulus berupa stres menyebabkan gejala fisik, emosional, kognitif, dan perilaku. Maka dari itu, upaya mengatasi stres yang adaptif adalah hal krusial dilakukan pasien, penyintas, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan migran, serta kelompok-kelompok yang rentan terhadap stigma COVID-19. Usaha-usaha untuk mengurangi dampak dari stres disebut sebagai strategi koping. Beberapa jenis strategi koping yang dapat dilakukan untuk menurunkan dampak stres secara umum dibagi tiga:
Problem-Focused Coping atau disebut juga sebagai active coping, yaitu bertujuan untuk mengendalikan situasi atau peristiwa yang membuat stres. Beberapa jenisnya yaitu:
-
- Mengubah sumber stres, misalnya dengan menegur orang-orang yang melakukan stigma agar berhenti.
- Merencanakan upaya penyelesaian masalah, misalnya dengan merencanakan apa saja upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi stigma selain menegur, psikoedukasi, dan lain sebagainya. Tujuannya agar upaya mengurangi stigma lebih komprehensif dan maksimal.
- Mencari informasi atau bantuan untuk mengendalikan situasi stres, misalnya memberikan informasi dan fakta yang valid serta reliabel mengenai COVID-19 untuk mengurangi stigma.
- Menunda melakukan penyelesaian masalah agar dilakukan di waktu yang lebih tepat, misalnya dengan menunda menegur orang yang melakukan stigma ketika sedang emosi atau situasi tidak kondusif. Tujuannya agar penyelesaian masalah tetap objektif dan tidak dipengaruhi bias.
- Membuat diri keluar dari situasi-situasi yang membuat stres, misalnya ketika sudah ditegur tetapi seseorang tetap melakukan stigma, maka yang paling bijak dilakukan adalah menghindar dari orang tersebut.
Jenis koping ini sesuai digunakan apabila sumber dari stres adalah sesuatu yang bisa dikendalikan.Namun, ketika stres itu di luar kendali, koping ini kurang cocok untuk dilakukan (Caroll, 2013).
Emotional-Focused Coping yaitu upaya untuk meregulasi fungsi (menoleransi, mengurangi, menghilangkan) reaksi fisiologis, emosional, kognitif, dan perilaku yang muncul akibat berhadapan dengan stres. Beberapa jenisnya, yaitu:
-
- Mencari dukungan emosional, misalnya dengan curhat kepada orang yang dipercaya.
- Fokus melepas beban emosional, misalnya dengan menulis jurnal, menggambar, dan melakukan upaya ekspresi emosi lainnya.
- Mengalihkan diri kepada aktivitas produktif atau menyenangkan lain, misalnya mendengarkan musik, menonton, bermain, dan lain sebagainya.
Saat tidak ada sesuatu yang bisa dilakukan untuk membuat sumber tekanan menjadi lebih baik, koping emosional efektif untuk meregulasi dan mengurangi stres (Ben-Zur, 2017).
Spiritual-Focused Coping yaitu usaha-usaha untuk melakukan pendekatan spiritual dan keagamaan dalam menjalani dan menerima tekanan. Beberapa jenisnya adalah:
-
- Ikhlas, menerima, dan meyakini bahwa ada hikmah dibalik semuanya.
- Beribadah, berdo’a, meminta pertolongan Tuhan, dan mencari kenyamanan pada agama. Tujuannya dapat meningkatkan kekuatan dan optimisme yang membantu untuk menaklukkan stres.
Stigma COVID-19 merupakan sikap negatif yang muncul akibat persepsi ketakutan yang berlebihan terhadap ancaman COVID-19. Sikap negatif ini diproyeksikan sebagai sikap dan perilaku memberi label dan stereotip kepada kelompok terdampak, misalnya pasien, penyintas, pekerja sosial dan migran, serta tenaga kesehatan COVID-19. Stigma COVID-19 memiliki dampak yang berbahaya tidak hanya pada kelompok terdampak berupa intimidasi, perundungan, penganiayaan, masalah kesehatan mental, stress dan kecemasan, bahkan kematian. Tetapi juga masyarakat secara umum, yaitu perilaku kesehatan yang terhambat, misalnya keengganan pengetesan dan akses ke pelayanan kesehatan. Upaya mengurangi stigma dapat dimulai dari skala individu, yaitu dengan mengembangkan empati sosial berupa kepedulian, psikoedukasi berbasis fakta, penggunaan bahasa anti stigma, mengendalikan pikiran negatif, memberi dukungan, dan mendengar pengalaman dari kelompok terdampak. Bagi kelompok yang mendapatkan stigma, dapat melakukan beberapa upaya untuk mengurangi stres yang ditimbulkan oleh stigma, yaitu koping yang berfokus pada masalah, emosi, maupun pendekatan spiritual.
Penyusun: