Oleh: dr. Ali Baswedan, Sp. PD., KEM-D
Diabetes melitus (DM) masih merupakan masalah kesehatan utama di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Selama sepuluh tahun terakhir, tingkat penyebaran DM di Provinsi DIY selalu di atas rata-rata Nasional. Data terbaru yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2023 menunjukkan peningkatan penyebaran DM di DIY menjadi 2,9%. Sebelumnya, pada tahun 2018 sebesar 2,4% dan 2013 sebesar 2,6%. Sementara itu, angka penyebaran DM secara Nasional hanya berada di kisaran 1,5%–1,7% dalam satu dekade terakhir.
Peningkatan kasus DM di DIY ini tidak lepas dari gaya hidup masyarakat yang kurang sehat, selain faktor genetika, ras, dan demografi. Pola makan yang cenderung tinggi karbohidrat namun minim konsumsi sayur dan buah menjadi pemicu utama kenaikan kadar gula darah. Di sisi lain, kurangnya aktivitas fisik/olahraga, memperburuk kondisi ini. Sebab, olahraga rutin berperan penting sebagai “mesin pembakar” gula darah. Akibatnya, individu yang semula berada dalam tahap prediabetes akhirnya berkembang menjadi DM.
Perubahan Gaya Hidup
Untuk mengendalikan DM, sangat penting bagi diabetisi “memutar balik” gaya hidupnya. Mereka perlu menjaga pola makan yang seimbang serta rutin melakukan olahraga, minimal 30 menit setiap hari. Pedoman Internasional tentang penanganan DM menyebutkan bahwa langkah awal dalam mengelola DM tanpa komplikasi adalah perubahan gaya hidup, bukan langsung terapi obat penurun gula darah. Pedoman ini menetapkan jangka waktu tiga bulan untuk melakukan perubahan gaya hidup, sebelum mempertimbangkan terapi farmakologis.
Namun, mengubah gaya hidup bukanlah hal yang semudah “mengedipkan mata”. Gaya hidup adalah hasil kebiasaan yang telah terpatri melalui perilaku berulang-ulang dan lama. Bagaimana mungkin hal seperti itu bisa dirubah dalam waktu singkat ? Oleh karena itu, diabetisi membutuhkan bantuan dari berbagai pihak, seperti dokter, ahli gizi, psikolog, dan edukator diabetes, selain dukungan keluarga. Peran mereka bukan hanya sekedar memberikan arahan, tetapi juga menjadi motivator utama, khususnya dokter. Selain itu, niat dan kesungguhan hati diabetisi untuk “memutar balik” gaya hidupnya merupakan salah satu kunci keberhasilan.
Peran Pendampingan
Pedoman Internasional tentang penanganan DM tersebut di atas menetapkan waktu tiga bulan sebagai batas evaluasi perubahan gaya hidup. Batas waktu ini sebenarnya cukup singkat. Padahal, perubahan gaya hidup harus diterapkan secara berkelanjutan tanpa batasan waktu. Oleh sebab itu, pendampingan bagi diabetisi menjadi aspek yang sangat penting agar upaya perubahan gaya hidup berlangsung secara berkelanjutan.
Pendampingan ini dapat dilakukan secara perorangan maupun institusi, seperti Puskesmas, Klinik, atau Rumah Sakit. Prinsip utama dalam pendampingan adalah komunikasi yang intensif antara pendamping dan diabetisi. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai media, seperti telepon seluler. Komunikasi ini mencakup berbagai topik, mulai dari pilihan camilan yang sehat hingga cara mengatasi lonjakan kadar gula darah.
Sebagai contoh, diabetisi dapat menghubungi pendamping saat menghadapi masalah seperti alat suntik insulin yang macet atau persediaan obat yang habis. Mereka juga bisa melaporkan perubahan fisik seperti munculnya luka, gatal di area suntikan, demam, flu dan sebagainya. Pendamping kemudian akan memberikan solusi terbaik sesuai kondisi pasien.
Selain itu, komunitas seperti PERSADIA (Perkumpulan Penderita Diabetes Indonesia) juga dapat menjadi wadah yang efektif untuk berbagi pengalaman. Dalam komunitas ini, diabetisi dapat saling memberikan dorongan moral serta berbagi tips praktis yang relevan. Di samping itu, kegiatan edukasi yang sering dilakukan oleh PERSADIA, seperti seminar kesehatan dan lokakarya pola hidup sehat, dapat membantu memperluas wawasan diabetisi tentang cara mengelola DM secara mandiri dan efektif.
Dengan pendampingan yang tepat dan konsisten, diabetisi mampu mengelola penyakitnya dengan lebih baik. Hasil yang diharapkan ialah kualitas hidup diabetisi meningkat. Pendampingan yang berkesinambungan juga diharapkan mampu menciptakan kesadaran kolektif di masyarakat tentang pentingnya mencegah DM sejak dini. Hal ini sekaligus memberikan kontribusi penting dalam upaya menurunkan angka penyebaran DM, khususnya di Provinsi DIY.