Seorang remaja putri, 18 tahun, datang ke klinik remaja dengan keluhan sulit tidur, tidak bisa konsentrasi saat belajar, sering merasa sedih, dan memiliki pikiran untuk mengakhiri hidup. Beberapa minggu sebelumnya ia putus hubungan dengan kekasihnya. Sejak usia 15 tahun menjadi remaja seksual aktif dengan kekasihnya. Tampak bekas sayatan-sayatan di kedua lengan bawahnya.
Seorang remaja putra, 18 tahun, dibawa oleh polisi ke instalasi gawat darurat dalam keadaan tak sadarkan diri, Terdapat luka robek di bagian tengah bibir atasnya, luka memar di tangan dan kakinya. Hasil pemeriksaan laboratorium urin positif terdapat zat adiktif benzodiazepin dan alkohol.
ABABIL istilah yang sering digunakan remaja yaitu ‘ABG (Anak Baru Gede) Labil’. Istilah itu memberikan gambaran adanya ketidakstabilan emosi yang dirasakan remaja, suka berubah-ubah, tidak konsisten, tidak tetap pada pendirian, atau mudah tergoyah pendirianya. Pada sebagian remaja ketidakstabilan emosi kerap kali melahirkan perilaku negatif.
Ditinjau dari umur, berbagai literatur menetapkan batasan umur yang disebut remaja. Menurut Dirjen Remaja dan Perlindungan Hak Reproduksi BKKBN, batas usia remaja adalah 10 – 21 tahun. Sementara itu, Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan umur 10 -19 tahun untuk pelayanan kesehatan remaja. Dalam rentang waktu yang cukup panjang ini, seorang anak yang memasuki masa remaja akan mengalami banyak perubahan yang tidak semua dia pahami dengan benar. Bahkan mungkin, dia sering tidak menyadari bahwa sesuatu tengah terjadi pada dirinya.
Remaja adalah masa peralihan masa kanak-kanak menuju dewasa, dalam masa tersebut terjadi proses pematangan fisik dan psikologis akibat dari perkembangan fisik, kognitif, sosial, kepribadian dan moral.
Masa remaja mengalami perkembangan fisik yang dramatis. Pada umumnya tinggi dan berat badan bertambah dengan cepat, bentuk tubuh pun berubah. Perkembangan kemampuan berpikir remaja pun berubah, saat remaja akan mampu berpikir logis, memiliki nalar secara ilmiah, kemampuan berintrospeksi diri, mengadaptasi informasi yang diterima dengan pemikirannya sendiri. Sementara perkembangan emosi remaja adalah masa angin ribut, badai pasang dan surut tiada pasti. Kadang merasa sedih sekali, bersikap melankolis, minder, dan merasa tidak yakin. Di saat yang lain, sangat antusias, gembira dan penuh semangat. Perkembangan sosial pun berubah, saat masa kanak-kanak hubungan sosial terbatas dengan orang-orang terdekat seperti keluarga dan sekolah. Saat memasuki usia remaja, kehidupan sosial menjadi makin kompleks. Selain keluarga dan lingkungan terdekat, remaja pun berinteraksi dengan lingkup lebih besar, teman-teman di media sosial bahkan masyarakat. Kebutuhan pengakuan teman sebaya menjadi prioritas saat masa remaja. Proses pencarian identitas saat masa remaja menjadi hal yang penting, tidak mau diakui masih kekanak-kanakan tapi juga tidak mau dikatakan telah dewasa yang harus memiliki tanggung jawab yang lebih besar.
Ketidaksiapan remaja saat mengalami perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dapat menyebabkan ketidaknyaman emosi yang dapat mengakibatkan ketidakstabilan emosi dengan menunjukkan perilaku negatif, antara lain sebagai berikut :
- Agresif (melawan, keras kepala, berkelahi, suka mengangggu, membangkang dan lain-lain).
- Regresif atau lari dari kenyataan (suka melamun, pendiam, senang menyendiri, dan mengkonsumsi obat penenang, minuman beralkohol, atau obat terlarang).
- Temperamental (mudah tersinggung, marah, sedih dan murung).
Bila keadaan tersebut dibiarkan tidak menutup kemungkinan remaja akan mengalami gangguan perilaku dan gangguan mental. Remaja yang mengalami gangguan dalam masa perkembangannya akan terganggu sehingga pada akhirnya tidak dapat mencapai masa dewasa yang matang secara fisik dan mental.
Remaja harus memiliki kematangan emosional untuk menghindari perilaku negatif. Remaja harus memiliki keterampilan hidup sehat untuk mencapai kematangan emosional. Oleh karena itu remaja perlu mendapatkan Pendidikan Keterampilan Hidup Sehat (PKHS). PKHS merupakan adaptasi dari Life Skills Education yaitu kemampuan psikososial seseorang untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalah dalam kehidupan sehari-hari secara efektif. Keterampilan ini memegang peran penting dalam kesehatan fisik, mental dan sosial. Keterampilan psikososial memberi kontribusi dalam mengatasi masalah perilaku yang berkaitan dengan ketidakmampuan mengatasi stress dan tekanan dalam hidup.
PKHS sebenarnya telah masuk dalam kurikulum pendidikan sekolah menengah di Indonesia. Modul PKHS dikembangkan oleh BKKBN. Hanya saja implementasi modul tersebut masih terbatas, belum menjadi mata pelajaran wajib bagi siswa sekolah menengah. Kompetensi pembelajaran PKHS seharusnya diberikan oleh para guru bimbingan konseling (BK). Sementara belum semua sekolah menengah di Indonesia memiliki guru BK. Selain itu materi PKHS tidak masuk dalam mata pelajaran wajib yang diterima olah para siswa.
Rumah Sakit UGM, sebagai pemberi pelayanan kesehatan (PPK) tingkat II berupaya untuk terus mendukung kesehatan remaja dengan membuka unit Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR). PKPR di RS UGM ditangani secara komprehensif oleh tim yang terintegrasi terdiri dari dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter spesialis kulit dan kelamin, dokter spesialis anak, dokter spseialis kedokteran jiwa, psikologis klini, dokter penyakit dalam, perawat dan ahli nutrisi.
RS UGM memiliki moto ‘friendly and caring hospital’ berkomitmen untuk menjadi rumah sakit ramah dan peduli remaja di Yogyakarta. Salah satu layanan yang disediakan adalah melakukan promosi kesehatan dengan menyelenggarakan Pendidikan Keterampilan Hidup Sehat pada remaja. PKHS dapat diberikan secara berkelompok di mana saja, di klinik, sekolah, sanggar, rumah singgah dan sebagainya. Salah satu aplikasi dari keterampilan ini di kehidupan sehari-hari adalah menolak ajakan atau tekanan teman sebaya untuk melakukan perbuatan beresiko seperti merokok, minum minuman beralkohol, penggunaan zat adiktif serta hubungan seksual di luar nikah. Remaja diharapkan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan segera untuk menolak, merasa yakin akan keputusan tersebut, berpikir kreatif untuk mencari cara penolakan agar tidak menyakiti hati teman, memiliki kemampuan berkomunikasi efektif dan mengendalikan emosi tanpa menimbulkan stres.
Kemampuan hidup sehat akan berdampak kematangan emosional pada remaja, ketidakstabilan emosi pun dapat dihindari sehingga tidak menjadi ABABIL (ABG Labil). Generasi penerus bangsa yang sehat baik fisik dan mental merupakan aset kelangsungan hidup bangsa kita.