Hari Gizi nasional (HGN) pada tahun 2018 ini masih mengangkat tema besar yang sama dengan tahun yang lalu walaupun sub temanya berubah. Tema tahun ini adalah mewujudkan kemandirian keluarga dalam 1000 hari pertama kehidupan (HPK) untuk pencegahan stunting.
Pertanyaannya adalah mengapa tema stunting masih diangkat lagi? Ternyata jumlah kasus stunting semakin meningkat. Selama tiga tahun terakhir proporsi stunting di Indonesia masih berkisar 20-39%. Di Indonesia, sekitar 37% (hampir 9 Juta) anak balita mengalami stunting
(Riskesdas, 2013) dan di seluruh dunia, Indonesia adalah negara dengan prevalensi stunting kelima terbesar. Kondisi ini perlu kita renungkan untuk menyelesaikan permasalahan bersama secara lintas sector.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi dibawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir, akan tetapi kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun.
Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006. Sedangkan definisi stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD (severelystunted)1.
Balita Kerdil atau Stunting tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita, akan tetapi disebabkan oleh banyak faktor, secara umum beberapa penyebab stunting ialah Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan), Post Natal Care dan pembelajaran dini yang berkualitas. Faktor lainnya yaitu kurangnya akses air bersih dan sanitasi yang baik serta masih kurangnya akses keluarga untuk mendapatkan makanan bergizi karena daya beli masyarakat rendah.
Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan ekonomi dan sosial. Kemandirian keluarga merupakan hal penting dalam mencegah permasalahan gizi ini berlansung lebih lanjut. Masyarakat perlu mendapatkan edukasi mengenai gizi dan kesehatan. Menurut Doddy Izwardi Direktur Bina Gizi, Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Kementerian Kesehatan RI, bahwa yang paling vital adalah membangun sumber dayanya. Dengan kemandirian keluarga yaitu pengetahuan dan sikap orang tua terkait pemberian makanan yang memenuhi gizi seimbang, stunting bisa terhindar yaitu melalui optimalisasi gizi dan kesehatan dalam 1000 hari pertama kelahiran yaitu dari masa kehamilan hingga golden age usia 2 tahun.
Program gizi yang telah dilakukan oleh pemerintah saat ini telah memberikan kontribusi terhadap penanggulangan masalah gizi yang ada. Upaya yang perlu dilakukan ke depan adalah percepatan perbaikan gizi yang dalam hal ini dinyatakan pemerintah melalui peraturan presiden nomor 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dengan prioritas Seribu Hari Pertama Kehidupan atau 1000 HPK.
Nah tugas kita bersama baik dari profesi gizi dan kesehatan dengan dukungan profesi lain serta lintas sektor untuk bekerja bersama memperbaiki kondisi masyarakat terutama dalam meningkatkan pengetahuan terkait gizi dan kesehatan. RSA UGM sangat mendukung upaya ini sesuai dengan visi dan misinya salah satunya melalui program pengabdian masyarakat yang rutin dilaksanakan. Program ini akan selalu bergulir untuk mendukung kemandirian keluarga dalam upaya perbaikan gizi sehingga terwujud generasi berkualitas demi masa depan Indonesia yang gemilang.
Yusmiyati, S.Gz, RD
Kepala Instalasi Gizi RS Akademik UGM